Siap Bersaing, BPR Jajaki Kerja Sama Fintech
A
A
A
SURABAYA - Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) saat ini tengah menjajaki kerja sama dengan beberapa perusahaan financial technology (fintech) agar mampu bersaing dengan bank-bank besar.
Beberapa program yang hendak dikerjasamakan antara lain terkait penyaluran kredit, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan pembayaran.
Ketua Perbarindo Jatim, Sujatno mengatakan, kerja sama ini merupakan pilihan tepat. Pasalnya, BPR sangat tidak mungkin bersaing dengan fintech. Banyak kemudahan yang dimiliki fintech yang tidak dimiliki BPR.
Dengan kerja sama ini, BPR berharap jangkauan nasabah bisa lebih luas dan layanan bisa lebih optimal. "Saat ini kami masih pelajari dulu beberapa fintech. Layanannya bagaimana. Mungkin awal tahun depan sudah bisa tandatangan kerjasama (MoU)," katanya disela acara media gathering Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di hotel JW Marriot, Surabaya, Kamis (21/12/2017).
Kerja sama dengan fintech ini, lanjut dia, dilakukan oleh Perbarindo pusat. Ketika sudah ada kerja sama, nantinya masing-masing BPR dipersilakan untuk menjalin hubungan dengan fintech. Kerja sama ini tidak bisa langsung diperuntukkan bagi semua BPR karena infrastruktur dan kesiapan BPR berbeda-beda.
"Yang saat ini kami juga terkait aturan. Jangan sampai kerja sama kami dengan fintech ini berbenturan dengan aturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Di sisi lain, kami sebelumnya juga didorong oleh OJK untuk bekerja sama dengan fintech," tutur Sujatno.
Sementara, Kepala OJK Kantor Regional (KR) 4 Jatim, Heru Cahyono mengatakan, fintech menjadi saingan serius bagi BPR. Dengan layanan yang mudah dan cepat karena diakses hanya melalui gawai, tentu layanan keuangan fintech menjadi primadona baru di masyarakat.
Saat ini layanan fintech tumbuh subur di Indonesia. "Selain tekanan risiko kredit, tantangan yang dihadapi BPR berasal dari pengembangan teknologi informasi di industri jasa keuangan. Khususnya pada model alternatif pembiayaan baru yang ditawarkan perusahaan berbasis teknologi informasi seperti fintech," imbuhnya.
Menurutnya, secara umum kinerja BPR di Jatim kurang memuaskan. Hingga triwulan III/2017, penyaluran kredit BPR hanya tumbuh sebesar 6,70%, asetnya tumbuh 2,73% dan DPK 10,27%.
Kondisi ini diperburuk dengan tingkat risiko kredit macet yang tercermin dari Non Performing Loan (NPL) yang mencapai 8,09%. Presentase tersebut jauh di atas ambang batas aturan Bank Indonesia yang dikisaran 5%.
"Kami minta pengurus BPR memantau secara ketat kualitas kredit yang disalurkan, terutama bagi BPR yang rasio NPL-nya di atas 5%," terangnya.
Beberapa program yang hendak dikerjasamakan antara lain terkait penyaluran kredit, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan pembayaran.
Ketua Perbarindo Jatim, Sujatno mengatakan, kerja sama ini merupakan pilihan tepat. Pasalnya, BPR sangat tidak mungkin bersaing dengan fintech. Banyak kemudahan yang dimiliki fintech yang tidak dimiliki BPR.
Dengan kerja sama ini, BPR berharap jangkauan nasabah bisa lebih luas dan layanan bisa lebih optimal. "Saat ini kami masih pelajari dulu beberapa fintech. Layanannya bagaimana. Mungkin awal tahun depan sudah bisa tandatangan kerjasama (MoU)," katanya disela acara media gathering Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di hotel JW Marriot, Surabaya, Kamis (21/12/2017).
Kerja sama dengan fintech ini, lanjut dia, dilakukan oleh Perbarindo pusat. Ketika sudah ada kerja sama, nantinya masing-masing BPR dipersilakan untuk menjalin hubungan dengan fintech. Kerja sama ini tidak bisa langsung diperuntukkan bagi semua BPR karena infrastruktur dan kesiapan BPR berbeda-beda.
"Yang saat ini kami juga terkait aturan. Jangan sampai kerja sama kami dengan fintech ini berbenturan dengan aturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Di sisi lain, kami sebelumnya juga didorong oleh OJK untuk bekerja sama dengan fintech," tutur Sujatno.
Sementara, Kepala OJK Kantor Regional (KR) 4 Jatim, Heru Cahyono mengatakan, fintech menjadi saingan serius bagi BPR. Dengan layanan yang mudah dan cepat karena diakses hanya melalui gawai, tentu layanan keuangan fintech menjadi primadona baru di masyarakat.
Saat ini layanan fintech tumbuh subur di Indonesia. "Selain tekanan risiko kredit, tantangan yang dihadapi BPR berasal dari pengembangan teknologi informasi di industri jasa keuangan. Khususnya pada model alternatif pembiayaan baru yang ditawarkan perusahaan berbasis teknologi informasi seperti fintech," imbuhnya.
Menurutnya, secara umum kinerja BPR di Jatim kurang memuaskan. Hingga triwulan III/2017, penyaluran kredit BPR hanya tumbuh sebesar 6,70%, asetnya tumbuh 2,73% dan DPK 10,27%.
Kondisi ini diperburuk dengan tingkat risiko kredit macet yang tercermin dari Non Performing Loan (NPL) yang mencapai 8,09%. Presentase tersebut jauh di atas ambang batas aturan Bank Indonesia yang dikisaran 5%.
"Kami minta pengurus BPR memantau secara ketat kualitas kredit yang disalurkan, terutama bagi BPR yang rasio NPL-nya di atas 5%," terangnya.
(izz)