Rencana Pembentukan Holding BUMN Dinilai Berisiko Besar
A
A
A
JAKARTA - Rencana pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terlalu berani dan berisiko besar. Lantaran hal itu, pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan.
Anggota Komisi VI DPR Martri Agoeng mengatakan, proses penggabungan perusahaan (holding) itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan sejatinya membutuhkan waktu yang tidak cepat.
Menurutnya, permasalahan utama dari pembentukan holding ini bukan pada pra transaksi atau saat transaksi tapi pada pasca transaksi. Konsep struktur holding yang akan dibentuk, model bisnis dan skema value creation yang akan disusun jauh lebih penting dari mekanisme transaksi.
“Penggabungan Permina dan Pertamin menjadi Pertamina membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun karena budaya yang jauh berbeda,” kata Martri lewat keterangan resmi di Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Pertimbangan lainnya, terang dia yakni kondisi sulit yang dialami holding terdahulu. Lebih lanjut Ia mencontohkan seperti holding Perkebunan yang setelah terbentuk sejak 2014 hingga sekarang masih saja berjuang untuk keluar dari kondisi kerugian.
Adapun holding Semen dan Pupuk yang masih melakukan realignment struktur holding dan menghadapi kondisi market sharenya yang tergerus. “Membangun holding tidaklah mudah. Dan ini akan dibangun lima sekaligus,” paparnya.
Bahkan Martri juga mengkritisi mekanisme inbreng saham yang diterapkan pada pembentukan holding BUMN. Mekanisme ini, masih kata dia, terbilang unik karena bukan merupakan skema merger dan akuisisi biasa yang sudah ada landasan hukumnya.
Skema M&A dengan pembelian perusahaan normal diatur dalam PP No 45 Tahun 2005 sedangkan untuk mekanisme inbreng ini dibuatkan khusus PP No 72 Tahun 2016 yang sempat di Judicial Review di Mahkamah Agung.
“Mengapa sampai di Judicial Review? Karena terasa begitu memaksakan. Dalam eksekusinya tidak mengikuti mekanisme APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), yang berarti tidak memerlukan persetujuan DPR. Ini membuat terjadinya polemik dengan DPR,” jelas dia.
Sambung dia, hal tersebut juga semakin unik karena kekayaan negara berupa saham di BUMN atau di Perseroan Terbatas setelah diinbrengkan berubah statusnya bukan lagi kekayaan negara tapi menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas yang menerimanya. “Entah apa namanya proses perubahaan kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha lain?,” tutup dia.
Anggota Komisi VI DPR Martri Agoeng mengatakan, proses penggabungan perusahaan (holding) itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan sejatinya membutuhkan waktu yang tidak cepat.
Menurutnya, permasalahan utama dari pembentukan holding ini bukan pada pra transaksi atau saat transaksi tapi pada pasca transaksi. Konsep struktur holding yang akan dibentuk, model bisnis dan skema value creation yang akan disusun jauh lebih penting dari mekanisme transaksi.
“Penggabungan Permina dan Pertamin menjadi Pertamina membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun karena budaya yang jauh berbeda,” kata Martri lewat keterangan resmi di Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Pertimbangan lainnya, terang dia yakni kondisi sulit yang dialami holding terdahulu. Lebih lanjut Ia mencontohkan seperti holding Perkebunan yang setelah terbentuk sejak 2014 hingga sekarang masih saja berjuang untuk keluar dari kondisi kerugian.
Adapun holding Semen dan Pupuk yang masih melakukan realignment struktur holding dan menghadapi kondisi market sharenya yang tergerus. “Membangun holding tidaklah mudah. Dan ini akan dibangun lima sekaligus,” paparnya.
Bahkan Martri juga mengkritisi mekanisme inbreng saham yang diterapkan pada pembentukan holding BUMN. Mekanisme ini, masih kata dia, terbilang unik karena bukan merupakan skema merger dan akuisisi biasa yang sudah ada landasan hukumnya.
Skema M&A dengan pembelian perusahaan normal diatur dalam PP No 45 Tahun 2005 sedangkan untuk mekanisme inbreng ini dibuatkan khusus PP No 72 Tahun 2016 yang sempat di Judicial Review di Mahkamah Agung.
“Mengapa sampai di Judicial Review? Karena terasa begitu memaksakan. Dalam eksekusinya tidak mengikuti mekanisme APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), yang berarti tidak memerlukan persetujuan DPR. Ini membuat terjadinya polemik dengan DPR,” jelas dia.
Sambung dia, hal tersebut juga semakin unik karena kekayaan negara berupa saham di BUMN atau di Perseroan Terbatas setelah diinbrengkan berubah statusnya bukan lagi kekayaan negara tapi menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas yang menerimanya. “Entah apa namanya proses perubahaan kekayaan negara menjadi kekayaan badan usaha lain?,” tutup dia.
(akr)