BI: Virtual Currency Berpotensi Ganggu Stabilitas Keuangan

Selasa, 16 Januari 2018 - 13:26 WIB
BI: Virtual Currency Berpotensi Ganggu Stabilitas Keuangan
BI: Virtual Currency Berpotensi Ganggu Stabilitas Keuangan
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengatakan, virtual currency memiliki risiko tinggi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan, rawan risiko penggunaan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme serta merugikan konsumen. Selain itu, risiko lainnya yakni identitas pelaku tersamarkan atau tidak dapat diidentifikasikan dengan transaksinya sehingga dapat dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal.

Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko mengatakan, dalam harga dan kapitalisasi pasar virtual currency terdapat lebih dari 1.400 cryptocurrencies dengan market cap terbesar adalah Bitcoin sebesar 33% atau dengan nilai market cap sebesar USD246 miliar. Adapun perkembangan bitcoin dari April 2013 hingga Januari 2018 telah mengalami peningkatan sebesar 164 kali atau menjadi Rp214,4 miliar dari Rp1,3 juta di tahun 2013.

"Virtual currency memiliki risiko yang tinggi pada area sistem pembayaran, sistem stabilitas keuangan, dan perlindungan konsumen," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/1/2018).

Dalam sistem pembayaran, terdapat beberapa risiko diantaranya tidak adanya jaminan ditukarkan dengan fiat money, apalagi dengan volatilitas harga yang tinggi. Kemudian tidak ada pihak yang menangani keluhan nasabah, keamanan sistem dan ekosistem di sekelilingnya belum terbukti. Sementara untuk risiko stabilitas sistem keuangan, apabila terjadi bubble burst karena terdapat interaksi antara virtual currency dan ekonomi riil.

"Lalu ada risiko volatilitas harga yang tinggi, karena nilainya ditentukan pada ekspektasi penawaran dan permintaan di masa mendatang (spekulatif). Terdapat juga risiko regulatory arbitrage karena transaksi dapat dilakukan dari negara lain dengan ketentuan yang lebih akomodatif," jelasnya.

Ony melanjutkan, sementara risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme antara lain transaksi lebih cepat dan lebih mudah untuk dipindahkan, bahkan hingga ke luar negeri serta menyulitkan untuk dilakukan pembekuan atau penyitaan terkait kasus kejahatan.

Sementara itu, risiko pada area perlimdungan komsumen diantaraya belum terdapat regulasi yang mengatur virtual currency meningkatkan eksposur pengguna terhadap kerugian keuangan. "Selain itu, tidak terdapat pengelola yang jelas sehingga sulit untuk meminta pertanggungjawaban ketika terjadi permasalahan," ungkap Ony.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4692 seconds (0.1#10.140)