Risiko Besar, Penerbitan Mata Uang Digital Butuh Persiapan Matang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, perkembangan mata uang virtual berbasis distributed ledger technology, seperti Bitcoin , yang semakin marak telah menjadi perhatian berbagai otoritas keuangan dunia. Hal ini memiliki potensi risiko yang besar, tidak hanya bagi masyarakat penggunanya namun juga dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC) yang dikelola bank sentral. Hal tersebut dilakukan seiring maraknya fenomena mata uang kripto yang berkembang selama pandemi Covid-19.
Menurut Josua, penggunaaan mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal. “Mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah,” katanya saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Minggu (28/2/2021).
“Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah,” tambah dia.
Sementara itu, penggunaan mata uang virtual dinilai rawan karena belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasi. Misalnya digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang, dan pendanaan terorisme. Kondisi transaksi semacam ini dapat membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuknya yang dapat merugikan masyarakat.
“Selain risiko yang diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang memiliki ketidakjelasan underlying asset yang mendasari nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan,” jelas Josua.
Lanjut dia, pemanfaatan CBDC saat ini masih berupa tahap persiapan oleh Bank Indonesia (BI), di mana setelah adanya kesiapan infrastruktur, BI sudah siap mengimplementasi secara luas.
Hingga saat ini, CBDC baru diterapkan secara terbatas di China dengan memberikan 200 Yuan kepada 50.000 penduduk untuk memantau dampaknya terhadap perekonomian dan pasar keuangan.
Di sisi lain, menurut Josua ke depannya dibutuhkan infrastruktur yang lebih merata, terutama infrastruktur jaringan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sifat mata uang digital yang membutuhkan akses internet.
“Tanpa hal tersebut, dampak pemanfaatan dari mata uang digital akan sangat terbatas pada perekonomian. Salah satu potensi keunggulan yang dapat diperoleh penerbitan CBDC adalah lebih mudahnya memantau pergerakan dan volatilitas money supply, sehingga sangat mungkin kebijakan moneter dapat lebih mudah ditransmisikan ke perekonomian,” ucap dia.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC) yang dikelola bank sentral. Hal tersebut dilakukan seiring maraknya fenomena mata uang kripto yang berkembang selama pandemi Covid-19.
Menurut Josua, penggunaaan mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal. “Mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah,” katanya saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Minggu (28/2/2021).
“Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah,” tambah dia.
Sementara itu, penggunaan mata uang virtual dinilai rawan karena belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasi. Misalnya digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang, dan pendanaan terorisme. Kondisi transaksi semacam ini dapat membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuknya yang dapat merugikan masyarakat.
“Selain risiko yang diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang memiliki ketidakjelasan underlying asset yang mendasari nilainya, transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan,” jelas Josua.
Lanjut dia, pemanfaatan CBDC saat ini masih berupa tahap persiapan oleh Bank Indonesia (BI), di mana setelah adanya kesiapan infrastruktur, BI sudah siap mengimplementasi secara luas.
Hingga saat ini, CBDC baru diterapkan secara terbatas di China dengan memberikan 200 Yuan kepada 50.000 penduduk untuk memantau dampaknya terhadap perekonomian dan pasar keuangan.
Di sisi lain, menurut Josua ke depannya dibutuhkan infrastruktur yang lebih merata, terutama infrastruktur jaringan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sifat mata uang digital yang membutuhkan akses internet.
“Tanpa hal tersebut, dampak pemanfaatan dari mata uang digital akan sangat terbatas pada perekonomian. Salah satu potensi keunggulan yang dapat diperoleh penerbitan CBDC adalah lebih mudahnya memantau pergerakan dan volatilitas money supply, sehingga sangat mungkin kebijakan moneter dapat lebih mudah ditransmisikan ke perekonomian,” ucap dia.
(ind)