Pelonggaran GWM Dorong Penyaluran Kredit Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempercepat implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) Rata-rata. Dari total GWM Rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), porsi GWM Rata-rata diperlonggar dari 1,5% menjadi 2% dari DPK.
"Porsi perhitungan rata-rata GWM-P Averaging rupiah di bank umum menjadi 2% itu dari total GWM-P yang sebesar 6,5% dan berlaku pada 16 Juli 2018," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Senin (22/1/2018).
(Baca Juga: BI Percepat Implementasi Aturan GWM Averaging
Sementara, dari total GWM Valas bank umum konvensional sebesar 8% dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK. Adapun untuk bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Dia memperkirakan, relaksasi perhitungan besaran rata-rata untuk simpanan kas bank umum dan bank syariah yang disimpan di bank sentral (Giro Wajib Minimum-Primer Rata-Rata/GWM-P Averaging) dapat menambah likuiditas industri perbankan sebesar Rp20 triliun. Dody pun berharap, dengan tambahan likuiditas tersebut, perbankan dapat meringankan biaya dana dan menambah akselerasi penyaluran kredit.
BI memprediksi pertumbuhan kredit pada tahun 2018 sebesar 10-12%. Sedangkan dalam rangka mendorong fungsi intermediasi dan pengelolaan likuiditas perbankan, BI juga memutuskan untuk menyempurnakan kebijakan makroprudensial melalui pemberlakuan dua ketentuan.
Pertama, mengubah ketentuan Loan to Funding Ratio (LFR) bagi Bank Umum Konvensional (BUK) dan ketentuan Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan target kisaran 80-92%.
Kedua, mengubah ketentuan GWM sekunder bagi BUK menjadi Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan memberlakukan PLM bagi BUS dengan besaran 4% dari DPK, dengan disertai fleksibilitas sebesar 2% dari DPK dapat direpokan kepada Bank Indonesia dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Menurut Dody, kedua instrumen makroprudensial tersebut bersifat countercyclical yang dapat disesuaikan sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, penurunan GWM memang cukup positif bagi likuiditas perbankan sehingga ruang untuk salurkan kredit lebih besar. Namun, jika dilihat kondisi saat ini faktor relaksasi GWM kontribusinya kecil terhadap kinerja kredit.
Likuiditas bank masih cukup sehat dengan LDR di bawah 90% dan rasio kecukupan modal CAR di angka 23%. Likuiditas juga didorong oleh besarnya dana murah bank yang di indikasikan oleh pertumbuhan DPK mencapai 9,8% (yoy) per November 2017.
Dengan kondisi likuiditas berlimpah seperti saat ini pun bank masih belum mau untuk mendorong penyaluran kredit. "Pertumbuhan kredit per November 2017 cuma 7,5% (yoy). Artinya bank menghadapi masalah struktural yang tidak bisa diselesaikan dengan pelonggaran GWM," paparnya saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, sepanjang 2017 lalu bank masih sibuk untuk konsolidasi. "Ini bisa dibilang bersih-bersih kredit macet. Waktu bersih bersih seharusnya awal tahun 2018 sudah selesai, tapi bank tetap lambat salurkan kredit," cetus Bhima.
Fenomena ini, sambung dia, salah satunya dipengaruhi oleh resiko perlambatan ekonomi makro. Pertumbuhan ekonomi di 2017 diprediksi hanya 5,05% atau stagnan dibanding tahun sebelumnya.
Secara sektoral pertumbuhan industri pengolahan sepanjang tahun berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Di segmen kredit konsumsi resiko juga masih besar. Besarnya resiko di kredit konsumsi tercermin dari tutupnya beberapa gerai ritel dan konsumsi masyarakat yang tumbuh dibawah ekspektasi yakni 4,9%.
"Kekhawatiran tahun politik juga membuat pengusaha bahkan perbankan ikut wait and see. Dan kondisi ini membuat debitur yang kualitasnya bagus masih menahan pengajuan kreditnya. Sementara debitur dengan kualitas yang rendah justru terdesak untuk mengajukan kredit ke perbankan," jelas Eko.
Oleh karena itu stimulus Pemerintah untuk dorong perekonomian menjadi kunci mengurangi resiko penyaluran kredit. Jika siklus ekonomi membaik, lanjut dia, kredit pasti akan tumbuh cukup tinggi. Di sisi yang lain rendahnya pertumbuhan kredit juga dipengaruhi oleh masih mahalnya bunga perbankan.
"Permasalahan struktural mahalnya bunga kredit tak bisa dipungkiri karena bisnis perbankan di Indonesia masih gemuk. Meskipun BI berulang kali turunkan suku bunga acuan tetap saja bank lebih konservatif," ungkap dia.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan, pelonggaran GWM tersebut akan sangat bermanfaat bagi bank dalam mengelola likuiditas. Dengan demikian, diharapkan bank dapatt lebih banyak mengucurkan kredit ke depan.
"Harapannya kredit dapat tumbuh 2 digit pada 2018 ini. Makin tinggi pertumbuhan kredit akan makin mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya saat dihubungi.
"Porsi perhitungan rata-rata GWM-P Averaging rupiah di bank umum menjadi 2% itu dari total GWM-P yang sebesar 6,5% dan berlaku pada 16 Juli 2018," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Senin (22/1/2018).
(Baca Juga: BI Percepat Implementasi Aturan GWM Averaging
Sementara, dari total GWM Valas bank umum konvensional sebesar 8% dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK. Adapun untuk bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Dia memperkirakan, relaksasi perhitungan besaran rata-rata untuk simpanan kas bank umum dan bank syariah yang disimpan di bank sentral (Giro Wajib Minimum-Primer Rata-Rata/GWM-P Averaging) dapat menambah likuiditas industri perbankan sebesar Rp20 triliun. Dody pun berharap, dengan tambahan likuiditas tersebut, perbankan dapat meringankan biaya dana dan menambah akselerasi penyaluran kredit.
BI memprediksi pertumbuhan kredit pada tahun 2018 sebesar 10-12%. Sedangkan dalam rangka mendorong fungsi intermediasi dan pengelolaan likuiditas perbankan, BI juga memutuskan untuk menyempurnakan kebijakan makroprudensial melalui pemberlakuan dua ketentuan.
Pertama, mengubah ketentuan Loan to Funding Ratio (LFR) bagi Bank Umum Konvensional (BUK) dan ketentuan Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan target kisaran 80-92%.
Kedua, mengubah ketentuan GWM sekunder bagi BUK menjadi Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan memberlakukan PLM bagi BUS dengan besaran 4% dari DPK, dengan disertai fleksibilitas sebesar 2% dari DPK dapat direpokan kepada Bank Indonesia dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Menurut Dody, kedua instrumen makroprudensial tersebut bersifat countercyclical yang dapat disesuaikan sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, penurunan GWM memang cukup positif bagi likuiditas perbankan sehingga ruang untuk salurkan kredit lebih besar. Namun, jika dilihat kondisi saat ini faktor relaksasi GWM kontribusinya kecil terhadap kinerja kredit.
Likuiditas bank masih cukup sehat dengan LDR di bawah 90% dan rasio kecukupan modal CAR di angka 23%. Likuiditas juga didorong oleh besarnya dana murah bank yang di indikasikan oleh pertumbuhan DPK mencapai 9,8% (yoy) per November 2017.
Dengan kondisi likuiditas berlimpah seperti saat ini pun bank masih belum mau untuk mendorong penyaluran kredit. "Pertumbuhan kredit per November 2017 cuma 7,5% (yoy). Artinya bank menghadapi masalah struktural yang tidak bisa diselesaikan dengan pelonggaran GWM," paparnya saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, sepanjang 2017 lalu bank masih sibuk untuk konsolidasi. "Ini bisa dibilang bersih-bersih kredit macet. Waktu bersih bersih seharusnya awal tahun 2018 sudah selesai, tapi bank tetap lambat salurkan kredit," cetus Bhima.
Fenomena ini, sambung dia, salah satunya dipengaruhi oleh resiko perlambatan ekonomi makro. Pertumbuhan ekonomi di 2017 diprediksi hanya 5,05% atau stagnan dibanding tahun sebelumnya.
Secara sektoral pertumbuhan industri pengolahan sepanjang tahun berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Di segmen kredit konsumsi resiko juga masih besar. Besarnya resiko di kredit konsumsi tercermin dari tutupnya beberapa gerai ritel dan konsumsi masyarakat yang tumbuh dibawah ekspektasi yakni 4,9%.
"Kekhawatiran tahun politik juga membuat pengusaha bahkan perbankan ikut wait and see. Dan kondisi ini membuat debitur yang kualitasnya bagus masih menahan pengajuan kreditnya. Sementara debitur dengan kualitas yang rendah justru terdesak untuk mengajukan kredit ke perbankan," jelas Eko.
Oleh karena itu stimulus Pemerintah untuk dorong perekonomian menjadi kunci mengurangi resiko penyaluran kredit. Jika siklus ekonomi membaik, lanjut dia, kredit pasti akan tumbuh cukup tinggi. Di sisi yang lain rendahnya pertumbuhan kredit juga dipengaruhi oleh masih mahalnya bunga perbankan.
"Permasalahan struktural mahalnya bunga kredit tak bisa dipungkiri karena bisnis perbankan di Indonesia masih gemuk. Meskipun BI berulang kali turunkan suku bunga acuan tetap saja bank lebih konservatif," ungkap dia.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menambahkan, pelonggaran GWM tersebut akan sangat bermanfaat bagi bank dalam mengelola likuiditas. Dengan demikian, diharapkan bank dapatt lebih banyak mengucurkan kredit ke depan.
"Harapannya kredit dapat tumbuh 2 digit pada 2018 ini. Makin tinggi pertumbuhan kredit akan makin mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya saat dihubungi.
(akr)