Kesenjangan Melebar: 62 Orang Super Kaya Kuasai 82% Kekayaan Dunia
A
A
A
OXFORD - Menjelang pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, badan amal global yang berpusat di Oxford, Inggris, yaitu Oxfam merilis laporan yang seolah "menampar" forum ekonomi dunia tahunan itu.
Melansir dari CNBC, Senin (22/1/2018), Oxfam melansir laporan bahwa hanya ada 62 super kaya di dunia alias tidak sampai 1% yang memiliki 82% dari kekayaan di dunia. Sementara separuh penduduk dunia yang berada dalam garis kemiskinan tidak mengalami kenaikan pendapatan pada tahun lalu.
Laporan ini membuat Oxfam meminta WEF untuk mengatasi kesenjangan yang semakin melebar antara orang-orang super kaya dengan penduduk lainnya yang tergolong miskin. Oxfam menyebut para elit politik dan bisnis global yang berkumpul menikmati salju di Davos dengan mantel mahal, harus mempromosikan kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab.
Menurut Oxfam, selama ini, para figur-figur elit politik dan bisnis global "semakin terkonsentrasi" di puncak kekayaan. Mereka seperti melakukan penghindaran pajak, mengabaikan hak-hak pekerja, menggunakan pengaruh bisnisnya untuk membuat sebuah kebijakan, yang justru akhirnya memperlebar kesenjangan sosial.
Oxfam dalam penelitiannya menyatakan, kekayaan para miliarder meningkat rata-rata 13% per tahun dalam dekade dari tahun 2006 sampai 2015. Dan sembilan dari 10 di antara 2.043 miliarder di dunia adalah laki-laki. Tahun lalu, para miliarder ini mengalami peningkatan kekayaan dengan total USD762 miliar. Jumlah sebesar itu dinilai cukup untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem hingga tujuh kali lipat.
Booming pasar saham global dipandang sebagai pendorong utama kenaikan kekayaan di antara aset keuangan para miliarder pada tahun lalu. Pendiri Amazon, Jeff Bezos mengalami kenaikan kekayaan sebesar USD6 miliar dalam 10 hari pertama tahun 2017. Alhasil, Bezos pun dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia saat ini.
Chief Executive Oxfam, Mark Goldring menyebut hasil tersebut bukan sebagai sebuah keberhasilan, melainkan ada yang salah dengan ekonomi global. "Konsentrasi kekayaan ekstem pada segelintir orang bukanlah pertanda ekonomi yang maju melainkan ada yang salah dengan sistem ekonomi global," tegasnya.
Sistem ekonomi global saat ini dianggap gagal karena membuat berjuta-juta orang pekerja keras hidup dalam kemiskinan. "Sementara para pekerja itu membuat pakaian dan membuat makanan untuk kita," sambungnya.
Sejak lima tahun terakhir, Oxfam rajin meneliti dan menerbitkan laporan mengenai hal ini. Pada 2017, Oxfam mengatakan bahwa 61 miliarder dari seluruh dunia memiliki uang setara dengan 3,6 miliar orang miskin di dunia.
Lantas bagaimana Oxfam bisa menyusun laporan demikian? Mereka menyatakan laporan yang dibuat berdasarkan "Reward Work, Not Health" yang mengacu dari data Forbes dan buku tahunan Credit Suisse Global Wealth, yang telah merinci distribusi kekayaan global sejak tahun 2000.
Survei tersebut menilai kekayaan seseorang berdasarkan pada nilai aset individu, terutama properti dan tanah, lalu dikurangi utang yang mungkin mereka pegang. Data tidak termasuk upah dan pendapatan untuk menentukan apa yang dia anggap miliknya sendiri. Metodologi ini telah menarik kritik di masa lalu, di mana dengan tingkat utang tinggi dan potensi penghasilan masa depan yang tinggi akan diklasifikasikan sebagai miskin dan kaya.
Melansir dari CNBC, Senin (22/1/2018), Oxfam melansir laporan bahwa hanya ada 62 super kaya di dunia alias tidak sampai 1% yang memiliki 82% dari kekayaan di dunia. Sementara separuh penduduk dunia yang berada dalam garis kemiskinan tidak mengalami kenaikan pendapatan pada tahun lalu.
Laporan ini membuat Oxfam meminta WEF untuk mengatasi kesenjangan yang semakin melebar antara orang-orang super kaya dengan penduduk lainnya yang tergolong miskin. Oxfam menyebut para elit politik dan bisnis global yang berkumpul menikmati salju di Davos dengan mantel mahal, harus mempromosikan kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab.
Menurut Oxfam, selama ini, para figur-figur elit politik dan bisnis global "semakin terkonsentrasi" di puncak kekayaan. Mereka seperti melakukan penghindaran pajak, mengabaikan hak-hak pekerja, menggunakan pengaruh bisnisnya untuk membuat sebuah kebijakan, yang justru akhirnya memperlebar kesenjangan sosial.
Oxfam dalam penelitiannya menyatakan, kekayaan para miliarder meningkat rata-rata 13% per tahun dalam dekade dari tahun 2006 sampai 2015. Dan sembilan dari 10 di antara 2.043 miliarder di dunia adalah laki-laki. Tahun lalu, para miliarder ini mengalami peningkatan kekayaan dengan total USD762 miliar. Jumlah sebesar itu dinilai cukup untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem hingga tujuh kali lipat.
Booming pasar saham global dipandang sebagai pendorong utama kenaikan kekayaan di antara aset keuangan para miliarder pada tahun lalu. Pendiri Amazon, Jeff Bezos mengalami kenaikan kekayaan sebesar USD6 miliar dalam 10 hari pertama tahun 2017. Alhasil, Bezos pun dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia saat ini.
Chief Executive Oxfam, Mark Goldring menyebut hasil tersebut bukan sebagai sebuah keberhasilan, melainkan ada yang salah dengan ekonomi global. "Konsentrasi kekayaan ekstem pada segelintir orang bukanlah pertanda ekonomi yang maju melainkan ada yang salah dengan sistem ekonomi global," tegasnya.
Sistem ekonomi global saat ini dianggap gagal karena membuat berjuta-juta orang pekerja keras hidup dalam kemiskinan. "Sementara para pekerja itu membuat pakaian dan membuat makanan untuk kita," sambungnya.
Sejak lima tahun terakhir, Oxfam rajin meneliti dan menerbitkan laporan mengenai hal ini. Pada 2017, Oxfam mengatakan bahwa 61 miliarder dari seluruh dunia memiliki uang setara dengan 3,6 miliar orang miskin di dunia.
Lantas bagaimana Oxfam bisa menyusun laporan demikian? Mereka menyatakan laporan yang dibuat berdasarkan "Reward Work, Not Health" yang mengacu dari data Forbes dan buku tahunan Credit Suisse Global Wealth, yang telah merinci distribusi kekayaan global sejak tahun 2000.
Survei tersebut menilai kekayaan seseorang berdasarkan pada nilai aset individu, terutama properti dan tanah, lalu dikurangi utang yang mungkin mereka pegang. Data tidak termasuk upah dan pendapatan untuk menentukan apa yang dia anggap miliknya sendiri. Metodologi ini telah menarik kritik di masa lalu, di mana dengan tingkat utang tinggi dan potensi penghasilan masa depan yang tinggi akan diklasifikasikan sebagai miskin dan kaya.
(ven)