Berniat Bekukan Mobile Payment, BI Diminta Ambil Jalan Tengah
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) diminta mengambil jalan tengah terkait penggunaan uang elektronik berbasis mobile payment di Tanah Air. Hal ini menanggapi aturan BI yang akan membekukan beragam produk mobile payment di Indonesia yang tidak memiliki izin.
Konsep mobile payment ini sendiri banyak dikeluarkan oleh para perusahaan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech). Ini dilakukan untuk mempermudah pengguna melakukan pembayaran non-tunai.
Beberapa contohnya seperti TokoCash milik Tokopedia, BukaDompet milik BukaLapak serta Shopee dengan Shopeepay. Potensi mobile payment sebenarnya sangat besar mengingat lebih dari 102 juta orang Indonesia merupakan pengguna ponsel pintar.
Pengamat ekonomi dari Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan, pengeluaran izin untuk setiap produk keuangan yang beroperasi memang sudah menjadi wewenang BI. Ditambah keberadaan uang elektronik yang telah masif digunakan oleh masyarakat untuk bertransaksi memang membutuhkan pantauan BI.
Tujuannya, agar BI tetap bisa memantau pergerakan transaksi digital yang nantinya akan menjadi pertimbangan BI untuk mengeluarkan uang fisik. “Memang monitoring ini dibutuhkan, tujuannya agar BI bisa mengetahui berapa jumlah transaksi elektronik yang ada dipasaran yang akan menjadi pertimbangan BI dalam mengeluarkan uang fisik,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Namun demikian, Lana menyadari bahwa keberadaan uang elektronik berbasis mobile sudah sangat memudahkan masyarakat, dan yang paling penting mendukung program GNNT. Dia mencontohkan uang elektronik milik GO-JEK, yakni GO-PAY yang saat ini sudah digunakan oleh banyak masyarakat untuk melakukan transaksi dalam aplikasi layanan on-demand tersebut.
"GO-PAY sebetulnya merupakan langkah positif, karena memudahkan pengguna untuk membayar untuk transportasi, makanan, logistik dan lainnya. Saya kira dengan adanya pembayaran digital seperti GO-PAY ini sangat membantu orang tidak perlu lagi repot menukar uang kecil,” katanya.
Kendati demikian, Lana juga melihat kekhawatiran BI hal yang wajar karena uang pihak ketiga yang biasanya disimpan di bank suatu saat akan beralih ke uang elektronik milik perusahaan fintech. Meskipun saat ini jumlahnya masih sedikit, tetapi dia mengaku tidak bisa memprediksi jumlah yang akan beralih dalam beberapa tahun mendatang, sehingga diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk menjembatani peralihan ini.
“Jadi yang harus dilakukan BI adalah mencari jalan tengah, agar pembayaran digital ini berjalan tetapi masih dalam pengawasan. Selain itu, juga perlu diperhatikan bank-bank konvensional. Sebenarnya kalau uang yang ada di uang elektronik itu disimpan di bank juga BI bisa tetap mengawasi adanya transaksi digital,” pungkasnya.
Konsep mobile payment ini sendiri banyak dikeluarkan oleh para perusahaan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech). Ini dilakukan untuk mempermudah pengguna melakukan pembayaran non-tunai.
Beberapa contohnya seperti TokoCash milik Tokopedia, BukaDompet milik BukaLapak serta Shopee dengan Shopeepay. Potensi mobile payment sebenarnya sangat besar mengingat lebih dari 102 juta orang Indonesia merupakan pengguna ponsel pintar.
Pengamat ekonomi dari Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan, pengeluaran izin untuk setiap produk keuangan yang beroperasi memang sudah menjadi wewenang BI. Ditambah keberadaan uang elektronik yang telah masif digunakan oleh masyarakat untuk bertransaksi memang membutuhkan pantauan BI.
Tujuannya, agar BI tetap bisa memantau pergerakan transaksi digital yang nantinya akan menjadi pertimbangan BI untuk mengeluarkan uang fisik. “Memang monitoring ini dibutuhkan, tujuannya agar BI bisa mengetahui berapa jumlah transaksi elektronik yang ada dipasaran yang akan menjadi pertimbangan BI dalam mengeluarkan uang fisik,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Namun demikian, Lana menyadari bahwa keberadaan uang elektronik berbasis mobile sudah sangat memudahkan masyarakat, dan yang paling penting mendukung program GNNT. Dia mencontohkan uang elektronik milik GO-JEK, yakni GO-PAY yang saat ini sudah digunakan oleh banyak masyarakat untuk melakukan transaksi dalam aplikasi layanan on-demand tersebut.
"GO-PAY sebetulnya merupakan langkah positif, karena memudahkan pengguna untuk membayar untuk transportasi, makanan, logistik dan lainnya. Saya kira dengan adanya pembayaran digital seperti GO-PAY ini sangat membantu orang tidak perlu lagi repot menukar uang kecil,” katanya.
Kendati demikian, Lana juga melihat kekhawatiran BI hal yang wajar karena uang pihak ketiga yang biasanya disimpan di bank suatu saat akan beralih ke uang elektronik milik perusahaan fintech. Meskipun saat ini jumlahnya masih sedikit, tetapi dia mengaku tidak bisa memprediksi jumlah yang akan beralih dalam beberapa tahun mendatang, sehingga diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk menjembatani peralihan ini.
“Jadi yang harus dilakukan BI adalah mencari jalan tengah, agar pembayaran digital ini berjalan tetapi masih dalam pengawasan. Selain itu, juga perlu diperhatikan bank-bank konvensional. Sebenarnya kalau uang yang ada di uang elektronik itu disimpan di bank juga BI bisa tetap mengawasi adanya transaksi digital,” pungkasnya.
(akr)