Ketika Lumbung Padi Beralih Fungsi
A
A
A
KEDATANGAN Menteri Pertanian Amran Sulaiman di Desa Gedungarum, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Tengah, Senin (22/1/2018) pekan lalu, disambut protes puluhan petani. Amran datang untuk meninjau panen raya di desa tersebut. Sambil berdiri berbaris, puluhan petani memegang spanduk bertuliskan: "Stop Impor Beras", "Pak Menteri Tolak Beras Impor", dan uraian penolakan lainnya. Sesekali mereka pun meneriakkan, "Tolak, tolak impor beras."
Koordinator aksi, Kastubi, mengatakan, kini di daerahnya sudah mulai panen raya. Jika impor dilakukan, dia khawatir harga beras akan terjun bebas. "Baru dengar ada kabar beras impor saja, harga gabah di sini sudah turun. Gimana kalau jadi masuk sini?" protesnya. Menurut informasi, gabah basah harganya Rp5.200/kg. Harga tersebut turun dari sebelumnya yang Rp5.400/kg.
Sehari berikutnya, nada protes juga datang dari Kudus, Jawa Tengah. Saat Amran berkunjung ke sana, Bupati Kudus Musthofa menunjukkan sikap tak bersahabat. Dia menolak kebijakan impor beras. "Jangan sampai beras impor masuk Kudus," sergahnya. Pasalnya, produksi padi di Kota Kretek ini cukup melimpah.
Data Dinas Pertanian Kudus, panen di Kabupaten itu pada Januari 2018 seluas 1.871 hektare (ha) atau setara beras 6.637 ton. Sementara, panen Februari mencakup 7.163 ha atau setara 25.780 ton beras dan Maret 2.293 ha, setara 8.251 ton beras. Untuk melayani penduduk 841 ribu jiwa, kebutuhan beras sebulan diperkirakan 6.513 ton. Artinya, selama tiga bulan mengalami surplus.
Dari angka-angka itu, Kudus ikut memberikan sumbangsih 1,62% dari seluruh luas panen di Jateng yang sebesar 628.255 ha pada triwulan yang sama. "Sudah disampaikan ke beliau. Walau kami terkecil, tapi mampu nyumbang beras. Jadi, tak perlu lagi impor," cetusnya kepada SINDO Weekly, Jumat (26/1/2018) lalu.
Apakah kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah tepat? Apa semestinya respons pemerintah atas aspirasi para petani? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
Koordinator aksi, Kastubi, mengatakan, kini di daerahnya sudah mulai panen raya. Jika impor dilakukan, dia khawatir harga beras akan terjun bebas. "Baru dengar ada kabar beras impor saja, harga gabah di sini sudah turun. Gimana kalau jadi masuk sini?" protesnya. Menurut informasi, gabah basah harganya Rp5.200/kg. Harga tersebut turun dari sebelumnya yang Rp5.400/kg.
Sehari berikutnya, nada protes juga datang dari Kudus, Jawa Tengah. Saat Amran berkunjung ke sana, Bupati Kudus Musthofa menunjukkan sikap tak bersahabat. Dia menolak kebijakan impor beras. "Jangan sampai beras impor masuk Kudus," sergahnya. Pasalnya, produksi padi di Kota Kretek ini cukup melimpah.
Data Dinas Pertanian Kudus, panen di Kabupaten itu pada Januari 2018 seluas 1.871 hektare (ha) atau setara beras 6.637 ton. Sementara, panen Februari mencakup 7.163 ha atau setara 25.780 ton beras dan Maret 2.293 ha, setara 8.251 ton beras. Untuk melayani penduduk 841 ribu jiwa, kebutuhan beras sebulan diperkirakan 6.513 ton. Artinya, selama tiga bulan mengalami surplus.
Dari angka-angka itu, Kudus ikut memberikan sumbangsih 1,62% dari seluruh luas panen di Jateng yang sebesar 628.255 ha pada triwulan yang sama. "Sudah disampaikan ke beliau. Walau kami terkecil, tapi mampu nyumbang beras. Jadi, tak perlu lagi impor," cetusnya kepada SINDO Weekly, Jumat (26/1/2018) lalu.
Apakah kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah tepat? Apa semestinya respons pemerintah atas aspirasi para petani? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
(amm)