Komoditas Manis Negeri Agraris
A
A
A
NEGARA agraris. Sebutan bagi Indonesia itu pernah sangat akrab dalam setiap isu sosial ekonomi semasa Orde Baru. Buku-buku pelajaran sekolah dari SD sampai SMA tak lupa menyisipkan frasa tersebut sehingga melekat dalam benak setiap orang.
Tak bisa dimungkiri, pada masa itu sebagian besar masyarakat Indonesia memang hidup dari bercocok tanam. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 1980 lahan sawah di Indonesia seluas 7,7 juta hektare. Luas areal pertanian itu terus bertambah dan menjadi 8,3 juta hektare pada 1990. Pada periode itu, tepatnya pada 1984, Indonesia mencapai swasembada beras.
Sayangnya, situasi itu tidak bertahan lama. Sejak awal 1990-an, luas areal pertanian terus susut, diikuti turunnya jumlah petani. Selama 10 tahun sejak 2003 saja, luas lahan pertanian berkurang 5 juta hektare lebih. Bila pada 2003 terdapat 31,7 juta keluarga tani, pada 2013 tercatat 26,14 juta keluarga tani. Tren tersebut berlanjut hingga saat ini.
Lalu, masih relevankah menyebut Indonesia sebagai negara agraris saat ini? Tentu tidak mudah menjawabnya karena sangat bergantung pada aspek yang dilihat. Yang pasti, sampai saat ini, sektor pertanian masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi selama 2017.
Dilihat dari sisi produksi, sektor pertanian merupakan sektor kedua paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, setelah industri pengolahan. Pada triwulan II-2017, sektor pertanian menyumbang 13,92% produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp3.366,8 triliun. Pada triwulan berikutnya, sektor pertanian juga menyumbang 13,96% dari PDB sebesar Rp3.502,3 triliun.
Lalu mengapa Indonesia kerap mengimpor komoditas pertanian? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
Tak bisa dimungkiri, pada masa itu sebagian besar masyarakat Indonesia memang hidup dari bercocok tanam. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 1980 lahan sawah di Indonesia seluas 7,7 juta hektare. Luas areal pertanian itu terus bertambah dan menjadi 8,3 juta hektare pada 1990. Pada periode itu, tepatnya pada 1984, Indonesia mencapai swasembada beras.
Sayangnya, situasi itu tidak bertahan lama. Sejak awal 1990-an, luas areal pertanian terus susut, diikuti turunnya jumlah petani. Selama 10 tahun sejak 2003 saja, luas lahan pertanian berkurang 5 juta hektare lebih. Bila pada 2003 terdapat 31,7 juta keluarga tani, pada 2013 tercatat 26,14 juta keluarga tani. Tren tersebut berlanjut hingga saat ini.
Lalu, masih relevankah menyebut Indonesia sebagai negara agraris saat ini? Tentu tidak mudah menjawabnya karena sangat bergantung pada aspek yang dilihat. Yang pasti, sampai saat ini, sektor pertanian masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi selama 2017.
Dilihat dari sisi produksi, sektor pertanian merupakan sektor kedua paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, setelah industri pengolahan. Pada triwulan II-2017, sektor pertanian menyumbang 13,92% produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp3.366,8 triliun. Pada triwulan berikutnya, sektor pertanian juga menyumbang 13,96% dari PDB sebesar Rp3.502,3 triliun.
Lalu mengapa Indonesia kerap mengimpor komoditas pertanian? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
(amm)