Keuangan Syariah Berpotensi Jadi Lokomotif Ekonomi Nasional
A
A
A
BANDUNG - Ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia diperkirakan memiliki masa depan cerah dan berpotensi menjadi lokomotif ekonomi nasional. Namun, untuk mencapai ke arah tersebut, perlu dukungan pemerintah.
Direktur Bank BJB Syariah, Indra Falatehan mengatakan, Indonesia sebagai negara muslim terbesar merupakan pasar potensial bagi industri perbankan syariah maupun keuangan berbasis syariah.
"Industri keuangan syariah semakin hari akan semakin baik. Namun, secara market share ini yang menjadi masalah karena kami melawan sesuatu yang bergerak," ujar Indra di Bandung, Kamis (8/2/2018).
Market share keuangan syariah Indonesia masih relatif kecil, yakni hanya berkisar di angka 5%. Angka tersebut berada jauh di bawah negara mayoritas muslim lainnya seperti Uni Emirat Arab dengan 19,6%, Malaysia yang mencapai 23,8%, serta Arab Saudi 51,1%.
Meski demikian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir 2017, penyaluran biaya perbankan syariah tumbuh mencapai 15,75% secara tahunan. Sementara, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai 20,54%.
Bahkan dari sisi aset, perbankan syariah menunjukkan peningkatan cukup signifikan yakni mencapai 19,79%. Angka tersebut berada di atas tingkat pertumbuhan aset perbankan konvensional yang hanya 11,20%.
Menurutnya, konversi antara perbankan syariah dengan konvensional seperti yang dilakukan Bank BJB beberapa tahun lalu adalah langkah tepat. Di mana, pendirian Bank BJB Syariah diawali dengan pembentukan Divisi/Unit Usaha Syariah oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB).
Langkah serupa kemudian diikuti oleh beberapa BPD lain, salah satunya Bank Aceh yang melakukan konversi menuju syariah pada 2016. Konversi tersebut terbukti baik, karena kini dapat meningkatkan pertumbuhan laba Bank Aceh.
"Tahun ini ada Bank NTB yang akan konversi dengan syariah. Saya lihat (konversi) paling mungkin dilakukan. Namun, perlu adanya dorongan besar dari pemerintah," ujar Indra.
Direktur Bank BJB Syariah, Indra Falatehan mengatakan, Indonesia sebagai negara muslim terbesar merupakan pasar potensial bagi industri perbankan syariah maupun keuangan berbasis syariah.
"Industri keuangan syariah semakin hari akan semakin baik. Namun, secara market share ini yang menjadi masalah karena kami melawan sesuatu yang bergerak," ujar Indra di Bandung, Kamis (8/2/2018).
Market share keuangan syariah Indonesia masih relatif kecil, yakni hanya berkisar di angka 5%. Angka tersebut berada jauh di bawah negara mayoritas muslim lainnya seperti Uni Emirat Arab dengan 19,6%, Malaysia yang mencapai 23,8%, serta Arab Saudi 51,1%.
Meski demikian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir 2017, penyaluran biaya perbankan syariah tumbuh mencapai 15,75% secara tahunan. Sementara, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai 20,54%.
Bahkan dari sisi aset, perbankan syariah menunjukkan peningkatan cukup signifikan yakni mencapai 19,79%. Angka tersebut berada di atas tingkat pertumbuhan aset perbankan konvensional yang hanya 11,20%.
Menurutnya, konversi antara perbankan syariah dengan konvensional seperti yang dilakukan Bank BJB beberapa tahun lalu adalah langkah tepat. Di mana, pendirian Bank BJB Syariah diawali dengan pembentukan Divisi/Unit Usaha Syariah oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB).
Langkah serupa kemudian diikuti oleh beberapa BPD lain, salah satunya Bank Aceh yang melakukan konversi menuju syariah pada 2016. Konversi tersebut terbukti baik, karena kini dapat meningkatkan pertumbuhan laba Bank Aceh.
"Tahun ini ada Bank NTB yang akan konversi dengan syariah. Saya lihat (konversi) paling mungkin dilakukan. Namun, perlu adanya dorongan besar dari pemerintah," ujar Indra.
(izz)