Permendag 82 Tahun 2017 Ancam Pengusaha Pelayaran Lokal

Rabu, 21 Februari 2018 - 02:17 WIB
Permendag 82 Tahun 2017...
Permendag 82 Tahun 2017 Ancam Pengusaha Pelayaran Lokal
A A A
SURABAYA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur (Jatim) mendesak pemerintah mengkaji ulang penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.

Salah satu pasal dalam Permendag tersebut menyatakan, eksportir dan importir dapat menggunakan angkutan laut milik perusahaan lokal dan atau milik perusahaan asing untuk mengangkut komoditas ekspor-impor.

"Permendag ini tidak sejalan dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberlakuan Asas Cabotage. Dalam Inpres 5 Tahun 2005 secara tegas disebutkan bahwa seluruh kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera Indonesia," kata Wakil Ketua Umum Kadin Jatim Bidang Organisasi, Dedy Suhajadi, Selasa (20/2/2018).

Dedy mengaku mendukung keluarnya Permendag 82. Pasalnya, beleid ini akan meningkatkan arus impor dan ekspor di Indonesia. Hanya saja harus tetap mengacu pada aturan di atasnya, yakni Inpres. Menurutnya, jika Permendag diterapkan akan berdampak pada pengusaha kapal lokal.

Pasalnya, secara ukuran masih kalah jauh dengan kapal asing. Apalagi arus impor lebih tinggi dibanding ekspor. Dampaknya, kapal asing akan semakin menguasai perairan Indonesia. "Harusnya, pengusaha kapal asing itu bekerja sama dengan pengusaha kapal lokal. Sehingga pengusaha kapal lokal masih bisa hidup," pintanya.

Sementara itu, Ketua DPC Indonesian National Shipowners Association (INSA) Surabaya, Steven Lasawengen menyatakan kesiapan sektor pelayaran atas pemberlakuan beyond cabotage untuk ekspor batu bara dan crude palm oil (CPO) masih sangat minim. Jumlah kapal besar 70.000 deadweight tonnage (DWT) berbendera Indonesia yang bisa mengangkut komoditas ekspor tersebut tidak banyak.

"Jika diberlakukan, saya khawatir akan mengganggu ekspor batu bara kita. Karena yang bisa diangkut dengan kapal Indonesia hanya sekitar 30%," katanya.

Di sisi lain, pengusaha juga enggan berinvestasi untuk membangun kapal besar karena mahalnya biaya. Dia memperkirakan biaya pembangunan kapal dengan bobot 70.000 DWT mencapai sekitar USD30 juta atau sekitar Rp360 miliar. Investasi sebesar itu baru bisa balik modal sekitar 15 tahun hingga 20 tahun.

Selain itu, kepastian usaha juga belum bisa diharapkan, karena belum tentu pengangkutan batubara tersebut akan terua berjalan lancar. "Bisa saja dua hingga tiga tahun ke depan bisnis batubara anjlok. Belum lagi persaingan dengan pengusaha lain," tandasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0897 seconds (0.1#10.140)