Beban Berat PLN di Tahun Politik
A
A
A
TAHUN lalu benar-benar menjadi tantangan bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bagaimana tidak, perolehan laba PLN di sepanjang tahun kemarin hanya mencatatkan angka Rp4,4 triliun (unaudited). Perolehan itu anjlok sebesar 58% dibanding 2016 yang mencapai Rp10,5 triliun. Pencapaian itu juga merupakan rekor terburuk sejak 2014 ketika PLN masih menangguk laba sebesar Rp15,6 triliun.
Setidaknya, ada dua penyebab anjloknya laba perusahaan setrum pemerintah di tahun lalu. Pertama, pelemahan rupiah yang terjadi di sepanjang tahun lalu yang sempat menyentuh level Rp13.630 per dolar. Pelemahan rupiah tentu akan membebani PLN lantaran utang mereka sebagian besar dalam dominasi dolar. Sementara, penghasilan mereka berbentuk rupiah.
Penyebab lain adalah melonjaknya harga batu bara yang tahun lalu menyentuh level US$85 per metrik ton. Di dalam rencana keuangan perusahaan (RKAP) 2017, PLN mematok harga batu bara di angka US$63. Selisih itu membuat PLN harus menanggung beban hingga mencapai Rp14,7 triliun. "Kami tidak bisa minta ganti rugi karena subsidi tidak ada," ujar Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN.
Beban yang besar yang ditanggung PLN itulah yang membuat laba mereka menciut. Padahal, pendapat usaha yang diperoleh PLN pada 2017 sebesar Rp259 triliun atau tertinggi dalam empat tahun terakhir. Begitu pula dengan total aset PLN juga meningkat dari semula Rp1.274 triliun di 2016 menjadi Rp1.323 triliun.
Nah, tahun ini, berdasarkan RKAP 2018, PLN menargetkan dapat meraup laba bersih sebesar Rp10,4 triliun dengan pendapatan usaha sebesar Rp292 triliun. Guna mewujudkan itu, PLN menganggarkan belanja modal (capex) mencapai Rp123,2 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk menambah pembangkit listrik, jaringan transmisi, gardu induk, hingga mendorong penambahan jumlah pelanggan.
Bagaimana strategi PLN ke depan di tengah naiknya harga batu bara yang akan mengurangi laba perusahaan? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi No.52/VI/2018 yang terbit Senin (26/2/2018).
Setidaknya, ada dua penyebab anjloknya laba perusahaan setrum pemerintah di tahun lalu. Pertama, pelemahan rupiah yang terjadi di sepanjang tahun lalu yang sempat menyentuh level Rp13.630 per dolar. Pelemahan rupiah tentu akan membebani PLN lantaran utang mereka sebagian besar dalam dominasi dolar. Sementara, penghasilan mereka berbentuk rupiah.
Penyebab lain adalah melonjaknya harga batu bara yang tahun lalu menyentuh level US$85 per metrik ton. Di dalam rencana keuangan perusahaan (RKAP) 2017, PLN mematok harga batu bara di angka US$63. Selisih itu membuat PLN harus menanggung beban hingga mencapai Rp14,7 triliun. "Kami tidak bisa minta ganti rugi karena subsidi tidak ada," ujar Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN.
Beban yang besar yang ditanggung PLN itulah yang membuat laba mereka menciut. Padahal, pendapat usaha yang diperoleh PLN pada 2017 sebesar Rp259 triliun atau tertinggi dalam empat tahun terakhir. Begitu pula dengan total aset PLN juga meningkat dari semula Rp1.274 triliun di 2016 menjadi Rp1.323 triliun.
Nah, tahun ini, berdasarkan RKAP 2018, PLN menargetkan dapat meraup laba bersih sebesar Rp10,4 triliun dengan pendapatan usaha sebesar Rp292 triliun. Guna mewujudkan itu, PLN menganggarkan belanja modal (capex) mencapai Rp123,2 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk menambah pembangkit listrik, jaringan transmisi, gardu induk, hingga mendorong penambahan jumlah pelanggan.
Bagaimana strategi PLN ke depan di tengah naiknya harga batu bara yang akan mengurangi laba perusahaan? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi No.52/VI/2018 yang terbit Senin (26/2/2018).
(amm)