Pemerintah Siapkan Roadmap Pengelolaan Batu Bara Nasional
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun kebijakan pertambangan nasional yang akan menjadi peta jalan (roadmap) pengembangan subsektor pertambangan mineral dan batu bara. Kebijakan pertambangan tersebut diterangkan masih dibahas secara internal di Kementerian ESDM.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, hasilnya, akan berupa roadmap atau pedoman pengembangan pertambangan Indonesia."Masih diproses oleh direktorat program. Nanti seperti roadmap. Masih dibahas," kata Bambang di Jakarta, Senin (26/2/2018).
Ada lima substansi pokok dalam kebijakan pertambangan nasional tersebut mulai dari kegiatan eksplorasi hingga pasca tambang dan pemanfaatan komoditas. Kebijakan pertambangan nasional yang disusun tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pembangunan nasional, antara lain terjaminnya keamanan pasokan batu bara melalui kewajban pengutamaan pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri.
Ditambah terjaminnya keamanan pasokan mineral melalui kewajban pengutamaan pasokan mineral untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu, kebijakan tersebut diharapkan juga mampu mendorong optimalisasi penerimaan negara dari pertambangan minerba, meningkatkan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, meningkatkan partisipasi usaha lokal dan kandungan lokal.
Selanjutnya meningkatkan investasi pertambangan, peningkatan nilai tambah pertambangan, pengendalian produksi melalui penetapan produksi setiap provinsi, dan peran pertambangan dalam pembangunan daerah. Sementara Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahlli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo menilai rencana penetapan formulasi harga batubara khusus pasar domestik (Domestic Market Obligation) sebaiknya dapat dibicarakan terlebih dahulu antara pemerintah dan pengusaha batubara.
“Soal harga batubara domestik adalah persoalan jangka panjang. Ini harus sudah ditetapkan oleh pemerintah, jauh sebelum PLTU Batubara mendominasi bauran energi di Indonesia,” ujar Singgih dalam keterangan resmi.
Dia menilai kebijakan soal penetapan harga jual batubara mengikuti Harga Batubara Acuan (HBA), adalah satu keberhasilan Kementerian ESDM. Termasuk pembayaran royalty batubara yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha tambang, sebelum menjualnya.”Dengan pembayaran royalty di muka, ini sangat jelas pemerintah telah tegas. Ini sesuai filosofi perpindahan kepemilikan sumber daya alam dari negara kepada pihak kontraktor tambang,” paparnya.
Karena itu pemerintah semestinya memisahkan antara harga batubara di dalam negeri dengan harga batubara untuk kepentingan ekspor. Pemisahan harga jual batubara untuk pasar domestik dan ekspor, bukan saja soal ekonomi semata, namun juga untuk masyarakat yang akan menilai pemerintah sebagai pengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat.
“Berbagai pihak telah menuntut Indonesia, eksportir batubara terbesar di dunia, semestinya dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi harga batubara di pasar internasional,” ujarnya.
Mengenai perbedaan nilai harga antara pasar domestik dan ekspor, idealnya menjadi pemikiran kepentingan oleh berbagai pihak, seperti Kementeriaan ESDM, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga investor pertambangan. Dengan memisahkan harga domestik dan ekspor, yang semestinya telah ditetapkan, maka perdebatan di saat indeks harga batubara menyentuh diatas USD100 telah dapat diantisipasi sebelumnya dengan menggunakan satu formulasi.
Untuk kepentingan jangka panjang, maka Kementerian ESDM tidak perlu terburu-buru atas dorongan naiknya belanja energi primer, membuat keputusan memisahkan harga batubara domestik dan ekspor melalui perubahan Peraturan Pemerintah (PP). Namun demikian hal ini lebih baik diarahkan untuk kepentingan jangka panjang, bagaimana batubara semestinya lebih dapat dikelola sebagai energi untuk kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.
Awal 2018, Kementerian ESDM telah menetapkan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari rencana produksi tahun 2018 yang disetujui. Diharapkan dengan persentase 25% tersebut, kewajiban DMO naik menjadi 121 juta ton.Kementerian ESDM mempertegas batas atas produksi tahun ini sebesar 485 juta ton.
Jumlah dihitung atas realisasi produksi sepanjang 2017 sebanyak 461 juta ton ditambah 5% toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan ESDM. Selama 2017, penyerapan batubara DMO batubara tercatat sebanyak 97 juta ton. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan target yang diwajibkan dalam DMO 2017, sebesar 121 juta ton.
Karena itu ada usulan agar DMO diletakkan atas dasar national coal logistic chain secara menyeluruh atas industri pertambangan batubara yang telah terbangun seperti saat ini. “Semestinya DMO tidak diletakkan sebagai ruang yang terbuka, di mana semua perusahaan dapat memasok batubaranya ke berbagai pengguna batubara,” ujarnya.
Dari sisi kapasitas produksi, volume DMO, loading capacity, discharging facilities di pihak pemakai dan belum lagi masalah kualitas batubara, akan menjadi parameter yang semestinya dipertimbangkan terlebih dahulu. Termasuk juga perlu pertimbangan jika sudah terjadi kontrak jangka panjang yang telah dimiliki oleh PLN dan Independent Power Producer (IPP) untuk memasok batu bara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, hasilnya, akan berupa roadmap atau pedoman pengembangan pertambangan Indonesia."Masih diproses oleh direktorat program. Nanti seperti roadmap. Masih dibahas," kata Bambang di Jakarta, Senin (26/2/2018).
Ada lima substansi pokok dalam kebijakan pertambangan nasional tersebut mulai dari kegiatan eksplorasi hingga pasca tambang dan pemanfaatan komoditas. Kebijakan pertambangan nasional yang disusun tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pembangunan nasional, antara lain terjaminnya keamanan pasokan batu bara melalui kewajban pengutamaan pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri.
Ditambah terjaminnya keamanan pasokan mineral melalui kewajban pengutamaan pasokan mineral untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu, kebijakan tersebut diharapkan juga mampu mendorong optimalisasi penerimaan negara dari pertambangan minerba, meningkatkan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, meningkatkan partisipasi usaha lokal dan kandungan lokal.
Selanjutnya meningkatkan investasi pertambangan, peningkatan nilai tambah pertambangan, pengendalian produksi melalui penetapan produksi setiap provinsi, dan peran pertambangan dalam pembangunan daerah. Sementara Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahlli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo menilai rencana penetapan formulasi harga batubara khusus pasar domestik (Domestic Market Obligation) sebaiknya dapat dibicarakan terlebih dahulu antara pemerintah dan pengusaha batubara.
“Soal harga batubara domestik adalah persoalan jangka panjang. Ini harus sudah ditetapkan oleh pemerintah, jauh sebelum PLTU Batubara mendominasi bauran energi di Indonesia,” ujar Singgih dalam keterangan resmi.
Dia menilai kebijakan soal penetapan harga jual batubara mengikuti Harga Batubara Acuan (HBA), adalah satu keberhasilan Kementerian ESDM. Termasuk pembayaran royalty batubara yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha tambang, sebelum menjualnya.”Dengan pembayaran royalty di muka, ini sangat jelas pemerintah telah tegas. Ini sesuai filosofi perpindahan kepemilikan sumber daya alam dari negara kepada pihak kontraktor tambang,” paparnya.
Karena itu pemerintah semestinya memisahkan antara harga batubara di dalam negeri dengan harga batubara untuk kepentingan ekspor. Pemisahan harga jual batubara untuk pasar domestik dan ekspor, bukan saja soal ekonomi semata, namun juga untuk masyarakat yang akan menilai pemerintah sebagai pengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat.
“Berbagai pihak telah menuntut Indonesia, eksportir batubara terbesar di dunia, semestinya dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi harga batubara di pasar internasional,” ujarnya.
Mengenai perbedaan nilai harga antara pasar domestik dan ekspor, idealnya menjadi pemikiran kepentingan oleh berbagai pihak, seperti Kementeriaan ESDM, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga investor pertambangan. Dengan memisahkan harga domestik dan ekspor, yang semestinya telah ditetapkan, maka perdebatan di saat indeks harga batubara menyentuh diatas USD100 telah dapat diantisipasi sebelumnya dengan menggunakan satu formulasi.
Untuk kepentingan jangka panjang, maka Kementerian ESDM tidak perlu terburu-buru atas dorongan naiknya belanja energi primer, membuat keputusan memisahkan harga batubara domestik dan ekspor melalui perubahan Peraturan Pemerintah (PP). Namun demikian hal ini lebih baik diarahkan untuk kepentingan jangka panjang, bagaimana batubara semestinya lebih dapat dikelola sebagai energi untuk kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.
Awal 2018, Kementerian ESDM telah menetapkan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari rencana produksi tahun 2018 yang disetujui. Diharapkan dengan persentase 25% tersebut, kewajiban DMO naik menjadi 121 juta ton.Kementerian ESDM mempertegas batas atas produksi tahun ini sebesar 485 juta ton.
Jumlah dihitung atas realisasi produksi sepanjang 2017 sebanyak 461 juta ton ditambah 5% toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan ESDM. Selama 2017, penyerapan batubara DMO batubara tercatat sebanyak 97 juta ton. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan target yang diwajibkan dalam DMO 2017, sebesar 121 juta ton.
Karena itu ada usulan agar DMO diletakkan atas dasar national coal logistic chain secara menyeluruh atas industri pertambangan batubara yang telah terbangun seperti saat ini. “Semestinya DMO tidak diletakkan sebagai ruang yang terbuka, di mana semua perusahaan dapat memasok batubaranya ke berbagai pengguna batubara,” ujarnya.
Dari sisi kapasitas produksi, volume DMO, loading capacity, discharging facilities di pihak pemakai dan belum lagi masalah kualitas batubara, akan menjadi parameter yang semestinya dipertimbangkan terlebih dahulu. Termasuk juga perlu pertimbangan jika sudah terjadi kontrak jangka panjang yang telah dimiliki oleh PLN dan Independent Power Producer (IPP) untuk memasok batu bara.
(akr)