Indonesia Kembangkan Padi Hibrida untuk Ketahanan Pangan
A
A
A
SLEMAN - Pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan. Selain dengan memperkaya teknik budidaya tanaman padi yang sudah ada, juga dengan padi jenis hibrida.
Padi Hibrida adalah produk persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi dari kedua tetua tersebut.
Sehingga cocok ditanaman di negara tropis seperti Indonesia dan hasil panennya juga lebih banyak dibandingkan dengan jenis padi unggul lain, serta bisa hidup di semua lahan, baik kering maupun basah. Termasuk kompetitif terhadap hama.
"Karena itu kami terus melakukan inovasi teknogi untuk pengembagan padi hibrida ini," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Syakir saat International Hybrid Rice Symposium 2018 di Hotel Alana, Sleman, Yogyakarta, Selasa (27/2/2018).
Menurut Syakir, pengembangan ini penting, sebab nantinya bukan hanya mendapatkan inovasi bibit padi hibrida yang cocok untuk semua agrosistem di Indonesia, juga dapat meningkatkan produktifitas dan ramah lingkungan.
Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kelembaban dan suhu tinggi sehingga rentan terhadap hama biotik. "Simposium ini digelar untuk merumuskan solusi terhadap tantangan adopsi padi hibrida di Asia Tenggara di tengah ancaman perubahan iklim global," paparnya.
Simposium juga diharapkan menjadi peluang untuk mengedukasi publik mengenai prospek investasi teknologi padi hibrida, mengingat visi pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri. Jenis padi hibrida sendiri sudah ada 19 jenis, yaitu IPA1-IPA19 dan semuanya sudah berlisensi.
Untuk penyebaran secara masif sudah ada delapan lisensor, baik BUMN maupun BUMS. Tahun 2018 ini diperkirakan akan menambah lagi 2-3 lisensor. "Kami juga sudah bekerja sama dengan 50 perguruan tinggi untukpenelitian varietas unggul. Sebab selain padi, juga meneliti tanaman penghasil karbo lainnya, seperti jagung dan kedelai," terangnya.
Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta, Sasongko menjelaskan varietas padi hibrida sudah diterapkan di Yogyakarta, baik di daerah basah (irigasi air) maupun daerah kering. Seperti di Gunungkidul.
Di Yogyakarta sendiri, padi ini juga sudah dapat diterima. Apalagi selain enak rasanya, produktivitasnya juga tinggi. "Hal tersebut terbukti dari hasil panen padi hibrida di Gunungkidul,kemarin mampu mencapai 10 ton per hektare," jelasnya.
Kegiatan IHRS 2018 sendiri akan berlangsung selama tiga hari, yaitu mulai 27 Februari hingga 1 Maret. Selain diisi dengan diskusi juga akan ada peninjauan lapangan. Yaitu di Desa Megoluwih, Seyegan, Sleman.
Padi Hibrida adalah produk persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi dari kedua tetua tersebut.
Sehingga cocok ditanaman di negara tropis seperti Indonesia dan hasil panennya juga lebih banyak dibandingkan dengan jenis padi unggul lain, serta bisa hidup di semua lahan, baik kering maupun basah. Termasuk kompetitif terhadap hama.
"Karena itu kami terus melakukan inovasi teknogi untuk pengembagan padi hibrida ini," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Syakir saat International Hybrid Rice Symposium 2018 di Hotel Alana, Sleman, Yogyakarta, Selasa (27/2/2018).
Menurut Syakir, pengembangan ini penting, sebab nantinya bukan hanya mendapatkan inovasi bibit padi hibrida yang cocok untuk semua agrosistem di Indonesia, juga dapat meningkatkan produktifitas dan ramah lingkungan.
Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kelembaban dan suhu tinggi sehingga rentan terhadap hama biotik. "Simposium ini digelar untuk merumuskan solusi terhadap tantangan adopsi padi hibrida di Asia Tenggara di tengah ancaman perubahan iklim global," paparnya.
Simposium juga diharapkan menjadi peluang untuk mengedukasi publik mengenai prospek investasi teknologi padi hibrida, mengingat visi pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri. Jenis padi hibrida sendiri sudah ada 19 jenis, yaitu IPA1-IPA19 dan semuanya sudah berlisensi.
Untuk penyebaran secara masif sudah ada delapan lisensor, baik BUMN maupun BUMS. Tahun 2018 ini diperkirakan akan menambah lagi 2-3 lisensor. "Kami juga sudah bekerja sama dengan 50 perguruan tinggi untukpenelitian varietas unggul. Sebab selain padi, juga meneliti tanaman penghasil karbo lainnya, seperti jagung dan kedelai," terangnya.
Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta, Sasongko menjelaskan varietas padi hibrida sudah diterapkan di Yogyakarta, baik di daerah basah (irigasi air) maupun daerah kering. Seperti di Gunungkidul.
Di Yogyakarta sendiri, padi ini juga sudah dapat diterima. Apalagi selain enak rasanya, produktivitasnya juga tinggi. "Hal tersebut terbukti dari hasil panen padi hibrida di Gunungkidul,kemarin mampu mencapai 10 ton per hektare," jelasnya.
Kegiatan IHRS 2018 sendiri akan berlangsung selama tiga hari, yaitu mulai 27 Februari hingga 1 Maret. Selain diisi dengan diskusi juga akan ada peninjauan lapangan. Yaitu di Desa Megoluwih, Seyegan, Sleman.
(ven)