Eropa Timur Ancam Produk Alas Kaki asal Jawa Timur
A
A
A
SURABAYA - Produsen alas kaki di Indonesia, khususnya Jawa Timur (Jatim) semakin kalah bersaing dengan luar negeri. Pasalnya, kawasan Eropa Barat yang menjadi salah satu tujuan utama ekspor alas kaki dari Jatim, sudah beralih mengimpor alas kaki dari Eropa Timur.
Impor dari Eropa Timur dianggap menarik karena dari sisi harga lebih murah. Plus diitunjang dari lokasi geografis yang lebih dekat. "Persaingan ketat ini sebenarnya terjadi sejak tahun lalu. Di mana perekonomian di Eropa Timur seperti Albania dan Bosnia mulai membaik dan industrinya mulai berjalan karena dukungan pemerintah," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim, Winyoto Gunawan, Jumat (2/3/2018).
Dia menyatakan, dari segi harga, biaya produksi di Indonesia jauh lebih mahal. Salah satunya, klaimnya, dipicu dari kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan juga upah sektoral sebesar 6% dari nilai UMK. Besaran upah tersebut dianggap menjadi beban pengusaha yang mengakibatkan produk alas kaki di Jatim tidak bisa bersaing.
"Kebijakan upah sektoral dibebankan pada industri padat karya. Alas kaki termasuk industri padat karya. Di negara lain, industri padat karya disubsidi pemerintah. Jadi produknya dari sisi harga bisa bersaing," tandas Gunawan.
Kondisi tersebut, keluhnya, diperburuk dengan ada pajak ekspor. Indonesia ketika mengekspor ke Amerika Serikat, dikenakan pajak 4%. Berbeda dengan produsen sepatu Vietnam yang mengekspor barang ke Amerika Serikat dikenai pajak 0%.
"Karena beban produksi alas kaki semakin tinggi, banyak pabrik alas kaki mencari lokasi lain untuk menekan biaya produksi. Kalaupun ada perusahaan alas kaki yang kinerjanya bagus, itu hanya perusahaan besar saja," tandasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim menunjukkan, produksi alas kaki di Jatim sepanjang 2017 mencapai USD461 juta. Sedangkan pada Januari 2018, USD53 juta, tumbuh 16,57% dibanding periode yang sama tahun lalu. Alas kaki menyumbang ekspor Jatim sebesar 3,43%.
Kontribusi alas kaki terhadap ekspor masih kecil dibanding perhiasan sebesar 17%, kayu dan barang dari kayu 7,23%, tembaga 6,35% dan ikan serta udang 6,27%. "Selama Januari 2018, total ekspor non migas Jatim USD1,57 miliar, naik 10,45% dibanding Desember 2017 atau naik 22,58%," ujar Kepala BPS Jatim, Teguh Pramono.
Impor dari Eropa Timur dianggap menarik karena dari sisi harga lebih murah. Plus diitunjang dari lokasi geografis yang lebih dekat. "Persaingan ketat ini sebenarnya terjadi sejak tahun lalu. Di mana perekonomian di Eropa Timur seperti Albania dan Bosnia mulai membaik dan industrinya mulai berjalan karena dukungan pemerintah," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim, Winyoto Gunawan, Jumat (2/3/2018).
Dia menyatakan, dari segi harga, biaya produksi di Indonesia jauh lebih mahal. Salah satunya, klaimnya, dipicu dari kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan juga upah sektoral sebesar 6% dari nilai UMK. Besaran upah tersebut dianggap menjadi beban pengusaha yang mengakibatkan produk alas kaki di Jatim tidak bisa bersaing.
"Kebijakan upah sektoral dibebankan pada industri padat karya. Alas kaki termasuk industri padat karya. Di negara lain, industri padat karya disubsidi pemerintah. Jadi produknya dari sisi harga bisa bersaing," tandas Gunawan.
Kondisi tersebut, keluhnya, diperburuk dengan ada pajak ekspor. Indonesia ketika mengekspor ke Amerika Serikat, dikenakan pajak 4%. Berbeda dengan produsen sepatu Vietnam yang mengekspor barang ke Amerika Serikat dikenai pajak 0%.
"Karena beban produksi alas kaki semakin tinggi, banyak pabrik alas kaki mencari lokasi lain untuk menekan biaya produksi. Kalaupun ada perusahaan alas kaki yang kinerjanya bagus, itu hanya perusahaan besar saja," tandasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim menunjukkan, produksi alas kaki di Jatim sepanjang 2017 mencapai USD461 juta. Sedangkan pada Januari 2018, USD53 juta, tumbuh 16,57% dibanding periode yang sama tahun lalu. Alas kaki menyumbang ekspor Jatim sebesar 3,43%.
Kontribusi alas kaki terhadap ekspor masih kecil dibanding perhiasan sebesar 17%, kayu dan barang dari kayu 7,23%, tembaga 6,35% dan ikan serta udang 6,27%. "Selama Januari 2018, total ekspor non migas Jatim USD1,57 miliar, naik 10,45% dibanding Desember 2017 atau naik 22,58%," ujar Kepala BPS Jatim, Teguh Pramono.
(ven)