Wisata Halal Jadi Pilihan Muslim Milenial
A
A
A
JAKARTA - Pasar wisatawan muslim terus tumbuh signifikan dari tahun ke tahun. Laporan yang dirilis Mastercard-Halal Trip Muslim Millennial Travel Report (MMTR) 2017 menyebut nilai pengeluaran wisatawan muslim milenial secara global pada 2025 akan mencapai sekitar USD100 miliar.
Sebanyak 10 negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja sama Islam (OKI), yaitu Arab Saudi, Turki, Malaysia, Kazakstan, Mesir, Indonesia, Oman, Iran, Uni Emirat Arab, dan Qatar, dalam beberapa tahun ke depan akan terus menjadi tujuan utama wisatawan muslim milenial. Adapun lima negara di luar OKI yang akan menjadi destinasi utama muslim milenial adalah Jerman, Rusia, Inggris, India, dan China.
CEO Crescent Rating & Halal Trip Fazal Bahardeen mengatakan, laporan MMTR 2017 memberikan wawasan mengenai pasar wisatawan muslim milenial yang berkembang pesat. "Kelompok tersebut memiliki pengaruh yang semakin besar sehingga menumbuhkan peluang dan tren secara global," ujar Fazal.
Dalam survei MMTR 2017 juga disebutkan, saat ini terdapat sekitar 1 miliar muslim yang berusia di bawah 30 tahun. Angka itu mewakili 60% dari populasi di negara-negara dengan mayoritas muslim sehingga menjadi kesempatan bagi pasar perjalanan wisata halal. Adapun Crescent Rating memperkirakan lebih dari 30% wisatawan muslim pada 2016 merupakan kaum milenial dengan 30% lainnya merupakan generasi Z yang merupakan kelompok demografis setelah kaum milenial.
Vice President Core & Digital Products, Indonesia, Malaysia & Brunei Division Mastercard Aisha Islam mengatakan, nilai-nilai yang dipegang kaum milenial kini beralih dari hanya ingin memiliki sebuah barang menjadi ingin mendapatkan pengalaman. Hal ini bisa dipenuhi dengan melakukan perjalanan. "Bagi para muslim milenial, perjalanan lebih dari sekadar liburan. Mereka sering kali menganggap perjalanan sebagai sebuah kesempatan untuk mengembangkan diri," jelasnya.
Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu provinsi yang pernah menerima penghargaan World Halal Travel Awards 2015, akan terus meningkatkan dan membenahi wilayahnya sebagai salah satu wilayah tujuan utama wisatawan asing. Kepala Dinas Pari wisata Provinsi NTB Lalu Mohammad Faozal mengungkapkan, wisata halal merupakan sebuah produk wisata yang memberikan warna baru. Target utama wisatawan juga bukan hanya dari kunjungan wisatawan lokal, melainkan wisatawan mancanegara.
"Kami juga tidak sekadar fokus pada wisatawan muslim yang datang dari Timur Tengah, tetapi mengharapkan semua turis dari mana pun bisa menikmati keindahan NTB," ujar Faozal kepada KORAN SINDO.
Selama dua tahun terakhir, NTB menurutnya telah mempercepat stimulus untuk memaksimalkan pariwisata. Pemerintah daerah ikut menggelontorkan anggaran sebesar Rp2 miliar kepada industri lokal untuk bersiap dengan konsep wisata halal. "Kita akan menyiapkan NTB sebagai kota wisata halal seperti mulai dari bandara yang dilengkapi dengan tempat ibadah yang nyaman sampai semua brand yang kami pasarkan sudah halal. Sampai saat ini produk di NTB sekitar 80% sudah mendapatkan sertifikasi halal meski pasarnya konvensional," jelasnya.
Selain NTB, wisata halal di Indonesia juga diusung Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kepala Dinas Pariwisata NAD Reza Pahlevi mengatakan, wisa tawan yang datang beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan tren wisata halal yang semakin digemari. Aceh pun menurutnya terus melakukan peningkatan dalam berbagai hal, mulai dari Sabang, Banda Aceh, Aceh Simeulue hingga Singkil.
"Kami akan terus menciptakan wisata halal, utamanya memfokuskan pada ketersediaan makanan serta hotel yang besertifikasi.
Ada standar global yang harus terus kami penuhi dan kami juga melakukan kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Majelis Ulama Indonesia," paparnya.
Upaya peningkatan wisata halal secara langsung telah mendapatkan dukungan pemerintah pusat sejak tiga tahun lalu melalui tim percepatan wisata halal yang dibentuk Kementerian Pariwisata. Sekretaris Tim Percepatan Wisata Halal, Tazbir, mengungkapkan, wisata halal merupakan potensi perekonomian baru yang sudah diyakini banyak negara. Bahkan pasar bisnisnya pun memiliki potensi yang sangat besar sehingga Indonesia tidak boleh ketinggalan untuk menggarap wisata halal.
Konsep wisata halal ke depan menurut Tazbir juga akan meluas pada pemberian label halal bukan hanya kepada sektor industri makanan dan minuman, tetapi juga kepada bisnis perhotelan dan restoran. Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan hotel dan restoran akan diberi label halal.
Dia mencontohkan lokasi wisata halal yang ada di Korea Selatan yang telah menerapkan konsep halal tersebut kepada hotel dan restoran. Akibat berkembangnya budaya Korea seperti KPop dan K-Drama yang mampu menghipnosis masyarakat dunia, Korea mampu menyiapkan diri bagi kedatangan turisturis muslim.
"Kita sudah bukan lagi hanya memasang pengumuman tidak menggunakan babi, tetapi akan langsung mengumumkan restoran mereka telah mendapatkan sertifikasi halal. Kalau caranya seperti ini, turis mana yang tidak akan tertarik? Mereka tentu tidak akan berpikir dua kali untuk makan di restoran tersebut," tuturnya.
Pengamat pariwisata syariah Azril Azahari mengatakan, jika mengacu pada Fatwa MUI Nomor 108/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata, semua lini dan area setempat harus berdasarkan prinsip syariah. Artinya bukan hanya makanan yang berlabel halal, tetapi keseluruhan daerah tersebut harus sesuai dengan syariat Islam. Meski demikian Azril menyadari bahwa tidak bisa sepenuhnya wisata halal menerapkan syariat Islam.
"Untuk produk memang sangat memungkinkan (mendapat label halal), tetapi untuk urusan layanan belum banyak yang menerapkan. Misalnya pemeriksaan kartu pengenal untuk memastikan wisatawan bersama muhrimnya," tutur Azril.
Meski demikian Indonesia menurutnya sudah siap dengan tren wisata halal ini. Pemerintah pun dinilai sukses dalam menangkap potensi yang ada pada wisata halal. Namun dia berharap Indonesia tidak hanya terfokus pada wisatawan muslimnya saja sebagai target pasar, melainkan pada wisatanya itu sendiri.
Sebanyak 10 negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja sama Islam (OKI), yaitu Arab Saudi, Turki, Malaysia, Kazakstan, Mesir, Indonesia, Oman, Iran, Uni Emirat Arab, dan Qatar, dalam beberapa tahun ke depan akan terus menjadi tujuan utama wisatawan muslim milenial. Adapun lima negara di luar OKI yang akan menjadi destinasi utama muslim milenial adalah Jerman, Rusia, Inggris, India, dan China.
CEO Crescent Rating & Halal Trip Fazal Bahardeen mengatakan, laporan MMTR 2017 memberikan wawasan mengenai pasar wisatawan muslim milenial yang berkembang pesat. "Kelompok tersebut memiliki pengaruh yang semakin besar sehingga menumbuhkan peluang dan tren secara global," ujar Fazal.
Dalam survei MMTR 2017 juga disebutkan, saat ini terdapat sekitar 1 miliar muslim yang berusia di bawah 30 tahun. Angka itu mewakili 60% dari populasi di negara-negara dengan mayoritas muslim sehingga menjadi kesempatan bagi pasar perjalanan wisata halal. Adapun Crescent Rating memperkirakan lebih dari 30% wisatawan muslim pada 2016 merupakan kaum milenial dengan 30% lainnya merupakan generasi Z yang merupakan kelompok demografis setelah kaum milenial.
Vice President Core & Digital Products, Indonesia, Malaysia & Brunei Division Mastercard Aisha Islam mengatakan, nilai-nilai yang dipegang kaum milenial kini beralih dari hanya ingin memiliki sebuah barang menjadi ingin mendapatkan pengalaman. Hal ini bisa dipenuhi dengan melakukan perjalanan. "Bagi para muslim milenial, perjalanan lebih dari sekadar liburan. Mereka sering kali menganggap perjalanan sebagai sebuah kesempatan untuk mengembangkan diri," jelasnya.
Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu provinsi yang pernah menerima penghargaan World Halal Travel Awards 2015, akan terus meningkatkan dan membenahi wilayahnya sebagai salah satu wilayah tujuan utama wisatawan asing. Kepala Dinas Pari wisata Provinsi NTB Lalu Mohammad Faozal mengungkapkan, wisata halal merupakan sebuah produk wisata yang memberikan warna baru. Target utama wisatawan juga bukan hanya dari kunjungan wisatawan lokal, melainkan wisatawan mancanegara.
"Kami juga tidak sekadar fokus pada wisatawan muslim yang datang dari Timur Tengah, tetapi mengharapkan semua turis dari mana pun bisa menikmati keindahan NTB," ujar Faozal kepada KORAN SINDO.
Selama dua tahun terakhir, NTB menurutnya telah mempercepat stimulus untuk memaksimalkan pariwisata. Pemerintah daerah ikut menggelontorkan anggaran sebesar Rp2 miliar kepada industri lokal untuk bersiap dengan konsep wisata halal. "Kita akan menyiapkan NTB sebagai kota wisata halal seperti mulai dari bandara yang dilengkapi dengan tempat ibadah yang nyaman sampai semua brand yang kami pasarkan sudah halal. Sampai saat ini produk di NTB sekitar 80% sudah mendapatkan sertifikasi halal meski pasarnya konvensional," jelasnya.
Selain NTB, wisata halal di Indonesia juga diusung Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kepala Dinas Pariwisata NAD Reza Pahlevi mengatakan, wisa tawan yang datang beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan seiring dengan tren wisata halal yang semakin digemari. Aceh pun menurutnya terus melakukan peningkatan dalam berbagai hal, mulai dari Sabang, Banda Aceh, Aceh Simeulue hingga Singkil.
"Kami akan terus menciptakan wisata halal, utamanya memfokuskan pada ketersediaan makanan serta hotel yang besertifikasi.
Ada standar global yang harus terus kami penuhi dan kami juga melakukan kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Majelis Ulama Indonesia," paparnya.
Upaya peningkatan wisata halal secara langsung telah mendapatkan dukungan pemerintah pusat sejak tiga tahun lalu melalui tim percepatan wisata halal yang dibentuk Kementerian Pariwisata. Sekretaris Tim Percepatan Wisata Halal, Tazbir, mengungkapkan, wisata halal merupakan potensi perekonomian baru yang sudah diyakini banyak negara. Bahkan pasar bisnisnya pun memiliki potensi yang sangat besar sehingga Indonesia tidak boleh ketinggalan untuk menggarap wisata halal.
Konsep wisata halal ke depan menurut Tazbir juga akan meluas pada pemberian label halal bukan hanya kepada sektor industri makanan dan minuman, tetapi juga kepada bisnis perhotelan dan restoran. Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan hotel dan restoran akan diberi label halal.
Dia mencontohkan lokasi wisata halal yang ada di Korea Selatan yang telah menerapkan konsep halal tersebut kepada hotel dan restoran. Akibat berkembangnya budaya Korea seperti KPop dan K-Drama yang mampu menghipnosis masyarakat dunia, Korea mampu menyiapkan diri bagi kedatangan turisturis muslim.
"Kita sudah bukan lagi hanya memasang pengumuman tidak menggunakan babi, tetapi akan langsung mengumumkan restoran mereka telah mendapatkan sertifikasi halal. Kalau caranya seperti ini, turis mana yang tidak akan tertarik? Mereka tentu tidak akan berpikir dua kali untuk makan di restoran tersebut," tuturnya.
Pengamat pariwisata syariah Azril Azahari mengatakan, jika mengacu pada Fatwa MUI Nomor 108/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata, semua lini dan area setempat harus berdasarkan prinsip syariah. Artinya bukan hanya makanan yang berlabel halal, tetapi keseluruhan daerah tersebut harus sesuai dengan syariat Islam. Meski demikian Azril menyadari bahwa tidak bisa sepenuhnya wisata halal menerapkan syariat Islam.
"Untuk produk memang sangat memungkinkan (mendapat label halal), tetapi untuk urusan layanan belum banyak yang menerapkan. Misalnya pemeriksaan kartu pengenal untuk memastikan wisatawan bersama muhrimnya," tutur Azril.
Meski demikian Indonesia menurutnya sudah siap dengan tren wisata halal ini. Pemerintah pun dinilai sukses dalam menangkap potensi yang ada pada wisata halal. Namun dia berharap Indonesia tidak hanya terfokus pada wisatawan muslimnya saja sebagai target pasar, melainkan pada wisatanya itu sendiri.
(amm)