Neraca Perdagangan Dinilai Masih Rentan Alami Defisit
A
A
A
JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan, neraca perdagangan dalam beberapa bulan ke depan berpotensi untuk kembali surplus. Namun, struktur neraca perdagangan juga masih sangat rentan mengalami defisit karena lemahnya peran ekspor manufaktur.
"Apalagi, defisit migas masih cenderung melebar karena dorongan kenaikan harga minyak dan peningkatan volume impor migas antisipasi lebaran," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal di Jakarta, Senin (19/3/2018).
Sementara itu, lanjut dia, ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia menghadapi berbagai ancaman proteksi di berbagai negara, khususnya Eropa, Amerika, bahkan dari negara importir terbesar, India.
Menurut dia, kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera menempatkan upaya peningkatan daya saing industri manufaktur secara komprehensif sebagai agenda utama ke depan. "Bukan sekedar untuk memperkuat neraca perdagangan, tetapi juga untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi," kata Faisal.
Dengan defisit pada bulan Februari 2018 sebesar USD0,12 miliar, maka total defisit dalam tiga bulan sejak Desember 2017 menjadi USD1,1 Miliar. Faisal menyebut, defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak tahun 2014.
CORE Indonesia memandang, kondisi ini patut mendapatkan perhatian serius pemerintah setidaknya karena tiga alasan yakni, net ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21%, berpotensi memberikan sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini.
Kemudian kedua, defisit perdagangan akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal misal, penaikan suku bunga acuan the Fed di AS. Ketiga, belum ada peningkatan kinerja industri manufaktur secara berarti, terutama industri yang berorientasi ekspor.
Lebih lanjut dia memaparkan, defisit perdagangan dalam tiga bulan terakhir setidaknya didorong oleh dua faktor, yakni pelebaran defisit migas dan penyempitan surplus nonmigas. Pelebaran defisit migas terjadi akibat peningkatan impor migas yang didorong oleh kenaikan harga minyak dunia.
Adapun di sisi non-migas, ekspor manufaktur yang sejak Januari 2016 mengalami tren kenaikan, dalam tiga bulan terakhir mengalami kontraksi sebesar 11%, dari USD11,5 miliar pada November 2017 menjadi USD10,3 miliar di Februari 2018. Bahkan, ekspor pertanian mengalami penurunan yang lebih tajam sebesar 25,6% dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu, ekspor manufaktur tumbuh lemah 12% dalam setahun terakhir periode Maret 2017-Februari 2018, impor tumbuh lebih cepat sebesar 18,7% pada periode yang sama.
"Memang, peningkatan impor ini sebagian besar sekitar 75% didorong oleh belanja bahan baku dan bahan penolong, yang merupakan indikasi terjadinya peningkatan aktivitas industri manufaktur di dalam negeri," jelas dia. Namun sayangnya, hal ini juga menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman menilai, defisit neraca perdagangan Indonesia sejalan dengan perbaikan ekonomi. BI pun memandang perkembangan neraca perdagangan pada Februari 2018 tetap positif dalam mendukung kinerja perekonomian.
"Defisit pada neraca perdagangan tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi, sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik," kata Agusman.
Ke depan, kinerja neraca perdagangan diperkirakan terus membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi. Perkembangan tersebut akan mendukung perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi dan kinerja transaksi berjalan.
"Apalagi, defisit migas masih cenderung melebar karena dorongan kenaikan harga minyak dan peningkatan volume impor migas antisipasi lebaran," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal di Jakarta, Senin (19/3/2018).
Sementara itu, lanjut dia, ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia menghadapi berbagai ancaman proteksi di berbagai negara, khususnya Eropa, Amerika, bahkan dari negara importir terbesar, India.
Menurut dia, kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera menempatkan upaya peningkatan daya saing industri manufaktur secara komprehensif sebagai agenda utama ke depan. "Bukan sekedar untuk memperkuat neraca perdagangan, tetapi juga untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi," kata Faisal.
Dengan defisit pada bulan Februari 2018 sebesar USD0,12 miliar, maka total defisit dalam tiga bulan sejak Desember 2017 menjadi USD1,1 Miliar. Faisal menyebut, defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak tahun 2014.
CORE Indonesia memandang, kondisi ini patut mendapatkan perhatian serius pemerintah setidaknya karena tiga alasan yakni, net ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21%, berpotensi memberikan sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini.
Kemudian kedua, defisit perdagangan akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal misal, penaikan suku bunga acuan the Fed di AS. Ketiga, belum ada peningkatan kinerja industri manufaktur secara berarti, terutama industri yang berorientasi ekspor.
Lebih lanjut dia memaparkan, defisit perdagangan dalam tiga bulan terakhir setidaknya didorong oleh dua faktor, yakni pelebaran defisit migas dan penyempitan surplus nonmigas. Pelebaran defisit migas terjadi akibat peningkatan impor migas yang didorong oleh kenaikan harga minyak dunia.
Adapun di sisi non-migas, ekspor manufaktur yang sejak Januari 2016 mengalami tren kenaikan, dalam tiga bulan terakhir mengalami kontraksi sebesar 11%, dari USD11,5 miliar pada November 2017 menjadi USD10,3 miliar di Februari 2018. Bahkan, ekspor pertanian mengalami penurunan yang lebih tajam sebesar 25,6% dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu, ekspor manufaktur tumbuh lemah 12% dalam setahun terakhir periode Maret 2017-Februari 2018, impor tumbuh lebih cepat sebesar 18,7% pada periode yang sama.
"Memang, peningkatan impor ini sebagian besar sekitar 75% didorong oleh belanja bahan baku dan bahan penolong, yang merupakan indikasi terjadinya peningkatan aktivitas industri manufaktur di dalam negeri," jelas dia. Namun sayangnya, hal ini juga menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman menilai, defisit neraca perdagangan Indonesia sejalan dengan perbaikan ekonomi. BI pun memandang perkembangan neraca perdagangan pada Februari 2018 tetap positif dalam mendukung kinerja perekonomian.
"Defisit pada neraca perdagangan tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi, sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik," kata Agusman.
Ke depan, kinerja neraca perdagangan diperkirakan terus membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi. Perkembangan tersebut akan mendukung perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi dan kinerja transaksi berjalan.
(fjo)