Sri Mulyani Pastikan Negara Tidak Sedang dalam Krisis Utang
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa saat ini Indonesia tidak sedang dalam krisis utang yang mengkhawatirkan. Hal ini dikatakan menanggapi kritikan sejumlah pihak mengenai beban utang pemerintah yang mencapai Rp4.000 triliun.
(Baca Juga: RI Masih Terjajah meski Porsi Utang IMF dan ADB Makin Kecil
Dia mengatakan, kritikan yang dilontarkan oleh beberapa ekonom dan politisi mengenai beban utang pemerintah Indonesia menjadi sorotan publik dan masyarakat. Menurutnya, pernyataan dari para elit politik dan ekonom tersebut telah memunculkan kesimpulan di masyarakat bahwa Indonesia saat ini tengah dalam krisis akibat utang.
"Isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya," katanya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Mantan Menko bidang Perekonomian ini menyatakan, perhatian elit politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang sejatinya sangat berguna bagi Menteri Keuangan selaku pengelola keuangan negara untuk terus menjaga kewaspadaan. Hal ini agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan.
Kendati demikian, wanita yang akrab disapa Ani ini menilai, pemerintah dan para elit tersebut perlu mendudukkan masalah secara benar agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan, dan menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.
"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," sindirnya.
Masih menurut Ani, masalah utang perlu didudukkan dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Karena, utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. "Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian," tegas dia.
Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, terangnya, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan agar masalah dilihat dengan lengkap dan proporsional. Misalnya, sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai aset tahun 2016 adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
Sementara, hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40% aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239% dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.
"Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang. Karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang," tandasnya.
(Baca Juga: RI Masih Terjajah meski Porsi Utang IMF dan ADB Makin Kecil
Dia mengatakan, kritikan yang dilontarkan oleh beberapa ekonom dan politisi mengenai beban utang pemerintah Indonesia menjadi sorotan publik dan masyarakat. Menurutnya, pernyataan dari para elit politik dan ekonom tersebut telah memunculkan kesimpulan di masyarakat bahwa Indonesia saat ini tengah dalam krisis akibat utang.
"Isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya," katanya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Mantan Menko bidang Perekonomian ini menyatakan, perhatian elit politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang sejatinya sangat berguna bagi Menteri Keuangan selaku pengelola keuangan negara untuk terus menjaga kewaspadaan. Hal ini agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan.
Kendati demikian, wanita yang akrab disapa Ani ini menilai, pemerintah dan para elit tersebut perlu mendudukkan masalah secara benar agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan, dan menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.
"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," sindirnya.
Masih menurut Ani, masalah utang perlu didudukkan dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Karena, utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. "Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian," tegas dia.
Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, terangnya, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan agar masalah dilihat dengan lengkap dan proporsional. Misalnya, sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai aset tahun 2016 adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
Sementara, hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40% aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239% dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.
"Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang. Karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang," tandasnya.
(akr)