Generasi Narsis
A
A
A
Ketika penduduk bumi terhubung satu sama lain, maka secara otomatis exposure mereka kepada orang lain juga akan terbuka luas.
Kini, ketika Instagram, Facebook, Line, Twitter, atau YouTube memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah, maka keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan pun menjadi terbebaskan. Tak terhindarkan lagi, naluri narsis kita pun sontak terlampiaskan.
Maka kebutuhan akan narsisme dan self esteem pun meroket. Kita pengin dipuji dan dielu-elukan. Kita ingin menjadi pusat perhatian orang lain. Kita butuh penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Itu sebabnya kini kita cinta setengah mati dengan likes dan share di me dia sosial.
Saya percaya bahwa naluri narsis sudah ada sejak zaman purbakala. Saya juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia. Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi secara mudah, murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya.
Sudah cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita. Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut saja zaman ini adalah era democratization of narcissism.
Era di mana siapa pun mendapatkan hak penuh untuk narsis, enggak cuma monopoli Beyonce atau Ed Sheeran. Inilah sisi lain dari milenial. Sebutan lain generasi ini adalah: Generasi Narsis. Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan terlampiaskan, maka tren perilaku milenial ke depan gampang ditebak.
Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: ”mepersonality ”) bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen lain melalui media Instagram, Facebook, atau Twitter. Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat: The Narcissism Epidemic dan Generation Me ) bahwa narsis itu menular: narcissism is contagious !!!. Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006.
Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di Indonesia? Mepersonality menempatkan diri kita (”aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered ). Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai ”aktor utama” dan orang lain sebagai ”figuran”.
Mereka akan menganggap diri mereka sebagai makhluk yang paling spesial, paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli, paling superior, dan segudang ”paling” yang lain. Di sisi lain, mereka juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata, pecundang, atau inferior.
Sudah menjadi naluri kita semua bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri kita kepada orang banyak, maka yang kita tampilkanadalahyang baik-baik saja. Keluarkanyang baik-baik, sembunyikan rapat- rapat yang jelek-jelek.
Tak heran jika yang muncul kemudian adalah ”mentalitas selebriti”, tampil prima, sempurna, tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik itu tersimpan begitu banyak kelemahan dan kebusukan. Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM, Facebook, atau Twitter.
Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan terganteng kita. (hehehe... fotoprofil saya di Twitter keren bukan main, jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang ”bunuh diri” dengan memasang foto profil jelek.
Posting-an Facebook atau tweet kita di Twitter juga kita atur sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang terhebat di dunia, terbijak di dunia, dan teralim di dunia.
Sisi jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu. Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: effective personal branding atau How to build personal image menjadi laris manis di internet.
Kalau sudah begitu, maka kita menjadi makhluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepura-puraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan.
Welcome narcissistic generation...
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
Kini, ketika Instagram, Facebook, Line, Twitter, atau YouTube memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah, maka keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan pun menjadi terbebaskan. Tak terhindarkan lagi, naluri narsis kita pun sontak terlampiaskan.
Maka kebutuhan akan narsisme dan self esteem pun meroket. Kita pengin dipuji dan dielu-elukan. Kita ingin menjadi pusat perhatian orang lain. Kita butuh penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Itu sebabnya kini kita cinta setengah mati dengan likes dan share di me dia sosial.
Saya percaya bahwa naluri narsis sudah ada sejak zaman purbakala. Saya juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia. Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi secara mudah, murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya.
Sudah cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita. Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut saja zaman ini adalah era democratization of narcissism.
Era di mana siapa pun mendapatkan hak penuh untuk narsis, enggak cuma monopoli Beyonce atau Ed Sheeran. Inilah sisi lain dari milenial. Sebutan lain generasi ini adalah: Generasi Narsis. Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan terlampiaskan, maka tren perilaku milenial ke depan gampang ditebak.
Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: ”mepersonality ”) bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen lain melalui media Instagram, Facebook, atau Twitter. Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat: The Narcissism Epidemic dan Generation Me ) bahwa narsis itu menular: narcissism is contagious !!!. Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006.
Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di Indonesia? Mepersonality menempatkan diri kita (”aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered ). Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai ”aktor utama” dan orang lain sebagai ”figuran”.
Mereka akan menganggap diri mereka sebagai makhluk yang paling spesial, paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli, paling superior, dan segudang ”paling” yang lain. Di sisi lain, mereka juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata, pecundang, atau inferior.
Sudah menjadi naluri kita semua bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri kita kepada orang banyak, maka yang kita tampilkanadalahyang baik-baik saja. Keluarkanyang baik-baik, sembunyikan rapat- rapat yang jelek-jelek.
Tak heran jika yang muncul kemudian adalah ”mentalitas selebriti”, tampil prima, sempurna, tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik itu tersimpan begitu banyak kelemahan dan kebusukan. Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM, Facebook, atau Twitter.
Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan terganteng kita. (hehehe... fotoprofil saya di Twitter keren bukan main, jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang ”bunuh diri” dengan memasang foto profil jelek.
Posting-an Facebook atau tweet kita di Twitter juga kita atur sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang terhebat di dunia, terbijak di dunia, dan teralim di dunia.
Sisi jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu. Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: effective personal branding atau How to build personal image menjadi laris manis di internet.
Kalau sudah begitu, maka kita menjadi makhluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepura-puraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan.
Welcome narcissistic generation...
YUSWOHADY
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com
(nfl)