Dukung Ketahanan Energi, Kontribusi Produksi NOC Harus Digenjot
A
A
A
JAKARTA - Melihat perkembangan industri minyak dunia, pemerintah terus mendorong agar PT Pertamina (Persero) menjadi semakin kuat dari sisi hulu. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengemukakan, saat ini kontribusi produksi minyak Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) terhadap nasional, belum sebesar NOC negara lain.
"Produksi NOC di dunia umumnya lebih dari 50% dibanding produksi total nasional. Misalnya, Petronas itu kontribusi produksinya di atas 80% dari produksi nasional Brazil. Saudi Aramco sekitar 99%, Petronas sekitar 58%. Sementara kontribusi produksi minyak Pertamina terhadap nasional baru sekitar 20%. Itulah salah satu alasan Pertamina harus lebih diperkuat, karena ketahanan energi itu dimulai dari supply," ujar Arcandra Tahar di Jakarta (29/3/2018).
Menurutnya, sisi hilir Pertamina juga memainkan peranan yang tak kalah penting dalam mendukung keuangan korporat, terutama saat harga minyak rendah. Namun ketika harga minyak tinggi, peran sisi hulu menjadi lebih dominan.
"Perusahaan migas kelas dunia itu selalu berpijak dengan dua kaki, upstream dan downstream. Sewaktu harga minyak tinggi, upstream berjaya. Sebaliknya saat harga minyak turun, downstream yang berjaya. Ini masalah risiko, aksi korporasi yang membalance antara risiko masa depan terhadap harga minyak," katanya.
Dalam membangun atau merevitalisasi kilang dalam rangka memitigasi risiko harga tersebut. Dengan kilang, terang dia biaya produksi BBM menjadi lebih efisien dibandingkan impor. Arcandra menjelaskan bahwa kebutuhan BBM Indonesia sekitar 1,7 juta barel per hari (bph) dan produksi dari kilang nasional sekitar 800 ribu per hari. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM (minyak olahan) nasional masih diperlukan impor sekitar 900 ribu bph.
"Spread (perbedaan) antara impor BBM dengan produksi dari kilang ini mencapai 5%. Kalau dihitung dari harga BBM RON 92 di kisaran USD72-74 per barel, maka spread-nya sekitar USD3,5 per barel. Sehari kira-kira USD 3 juta, atau sekitar USD 1 miliar setahun efisiensinya," paparnya.
"Produksi NOC di dunia umumnya lebih dari 50% dibanding produksi total nasional. Misalnya, Petronas itu kontribusi produksinya di atas 80% dari produksi nasional Brazil. Saudi Aramco sekitar 99%, Petronas sekitar 58%. Sementara kontribusi produksi minyak Pertamina terhadap nasional baru sekitar 20%. Itulah salah satu alasan Pertamina harus lebih diperkuat, karena ketahanan energi itu dimulai dari supply," ujar Arcandra Tahar di Jakarta (29/3/2018).
Menurutnya, sisi hilir Pertamina juga memainkan peranan yang tak kalah penting dalam mendukung keuangan korporat, terutama saat harga minyak rendah. Namun ketika harga minyak tinggi, peran sisi hulu menjadi lebih dominan.
"Perusahaan migas kelas dunia itu selalu berpijak dengan dua kaki, upstream dan downstream. Sewaktu harga minyak tinggi, upstream berjaya. Sebaliknya saat harga minyak turun, downstream yang berjaya. Ini masalah risiko, aksi korporasi yang membalance antara risiko masa depan terhadap harga minyak," katanya.
Dalam membangun atau merevitalisasi kilang dalam rangka memitigasi risiko harga tersebut. Dengan kilang, terang dia biaya produksi BBM menjadi lebih efisien dibandingkan impor. Arcandra menjelaskan bahwa kebutuhan BBM Indonesia sekitar 1,7 juta barel per hari (bph) dan produksi dari kilang nasional sekitar 800 ribu per hari. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM (minyak olahan) nasional masih diperlukan impor sekitar 900 ribu bph.
"Spread (perbedaan) antara impor BBM dengan produksi dari kilang ini mencapai 5%. Kalau dihitung dari harga BBM RON 92 di kisaran USD72-74 per barel, maka spread-nya sekitar USD3,5 per barel. Sehari kira-kira USD 3 juta, atau sekitar USD 1 miliar setahun efisiensinya," paparnya.
(akr)