Stunting Bisa Rugikan Negara 3% PDB per Tahun
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memberikan perhatian serius terhadap masalah stunting (kurang gizi kronis). Sebab, stunting bisa berdampak buruk pada perekonomian. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, persoalan stunting dapat memberikan dampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Potensi kerugian akibat stunting bisa mencapai 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
"Kalau PDB dihitung Rp10.000 triliun saja, potensi kerugian hingga Rp200-300 triliun. Padahal yang saya tahu sekarang PDB kita Rp13.000 triliun. Sebaliknya, kalau kita bisa menurunkan stunting, itu angkanya enggak tanggung-tanggung, akan membawa keuntungan ekonomi 48 kali lipat dari investasi yang dikeluarkan," tandas Bambang di Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, daerah dengan status darurat stunting di antaranya ada di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat dengan angka mencapai 40%. Sementara daerah hijau stunting ada di Bali dan Gorontalo. WHO mencatat, batas toleransi stunting maksimal 20% atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah menderita stunting (35,6%). Selain itu, juga 18,5% balita berkategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek. Dari data ini, WHO menyimpulkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes) Eko Putro Sandjojo mengatakan, stunting tidak hanya berdampak pada perekonomian. Namun, juga menentukan Indonesia bisa menjadi negara maju atau tidak. "Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, kita semua tahu bahwa Indonesia menjadi negara dengan GPD USD1 triliun. Diperkirakan pada 2030 nanti jika kita bisa pertahankan stabilitas sosial, politik, dan pertumbuhan ekonomi, maka GDP kita akan tembus USD2,5 triliun yang menempatkan pada kekuatan ekonomi nomor 9. Pada 2050 nanti, kita akan capai USD7,2 triliun. Pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa dicapai kalau kita punya stabilitas sosial yang baik," katanya.
Menurut Eko, penanganan stunting ini perlu karena stunting bukan hanya membuat orang tidak bisa tumbuh tinggi dengan normal, juga berpengaruh pada pertumbuhan otak. Akan banyak masyarakat yang tidak bisa sekolah dan kalau pun memaksakan, maka butuh perjuangan yang berat. Stunting pun akan berdampak pada kondisi kesehatan sehingga menyebabkan biaya hidup yang mahal pada masa tuanya nanti.
Eko menjelaskan, tidak semua daerah yang kaya tidak ada kasus stunting. Contohnya beberapa kabupaten di Yogyakarta yang berstatus lumbung pangan pun, angka stunting-nya cukup tinggi. Stunting juga terjadi karena infrastruktur dasar di desa tidak memadai bagi warga untuk hidup sehat. "Seperti ketiadaan sarana air bersih, MCK, akses ke posyandu juga susah. Lalu ada juga masalah kemiskinan," katanya.
Karena itu, selama tiga tahun ini, katanya, dana desa tidak hanya untuk membangun infrastruktur yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi saja. Namun, juga untuk membangun infrastruktur dasar guna meningkatkan kualitas hidup manusia. Misalnya saja pembangunan MCK sebanyak 108.000 unit. Meski jumlah ideal MCK seharusnya ada 5 juta unit. Selanjutnya, 30.000 sarana air bersih serta posyandu dan polindes sebanyak 5.000 unit.
Pembangunan infrastruktur dasar ini dampaknya sangat masif. Sebab, dari tiga tahun pengucuran dana desa menurut BPS, angka kemiskinan di desa turun 4,5% atau turun 10 juta orang miskin di desa. Sementara angka stunting dalam tiga tahun turun 10%. Selain itu, dengan adanya produk unggulan kawasan perdesaan (prukades), juga bisa menurunkan angka kemiskinan di desa.
Dia menjelaskan, dengan adanya prukades itu, kepala daerah bisa memetakan potensi daerahnya. Pemerintah pun mempertemukan potensi tersebut dengan 19 kementerian/lembaga lain, sebab mereka pun memiliki program khusus membangun desa. Selain juga mengundang dunia usaha dan perbankan untuk membantu permodalan.
"Kalau PDB dihitung Rp10.000 triliun saja, potensi kerugian hingga Rp200-300 triliun. Padahal yang saya tahu sekarang PDB kita Rp13.000 triliun. Sebaliknya, kalau kita bisa menurunkan stunting, itu angkanya enggak tanggung-tanggung, akan membawa keuntungan ekonomi 48 kali lipat dari investasi yang dikeluarkan," tandas Bambang di Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, daerah dengan status darurat stunting di antaranya ada di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat dengan angka mencapai 40%. Sementara daerah hijau stunting ada di Bali dan Gorontalo. WHO mencatat, batas toleransi stunting maksimal 20% atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah menderita stunting (35,6%). Selain itu, juga 18,5% balita berkategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek. Dari data ini, WHO menyimpulkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes) Eko Putro Sandjojo mengatakan, stunting tidak hanya berdampak pada perekonomian. Namun, juga menentukan Indonesia bisa menjadi negara maju atau tidak. "Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, kita semua tahu bahwa Indonesia menjadi negara dengan GPD USD1 triliun. Diperkirakan pada 2030 nanti jika kita bisa pertahankan stabilitas sosial, politik, dan pertumbuhan ekonomi, maka GDP kita akan tembus USD2,5 triliun yang menempatkan pada kekuatan ekonomi nomor 9. Pada 2050 nanti, kita akan capai USD7,2 triliun. Pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa dicapai kalau kita punya stabilitas sosial yang baik," katanya.
Menurut Eko, penanganan stunting ini perlu karena stunting bukan hanya membuat orang tidak bisa tumbuh tinggi dengan normal, juga berpengaruh pada pertumbuhan otak. Akan banyak masyarakat yang tidak bisa sekolah dan kalau pun memaksakan, maka butuh perjuangan yang berat. Stunting pun akan berdampak pada kondisi kesehatan sehingga menyebabkan biaya hidup yang mahal pada masa tuanya nanti.
Eko menjelaskan, tidak semua daerah yang kaya tidak ada kasus stunting. Contohnya beberapa kabupaten di Yogyakarta yang berstatus lumbung pangan pun, angka stunting-nya cukup tinggi. Stunting juga terjadi karena infrastruktur dasar di desa tidak memadai bagi warga untuk hidup sehat. "Seperti ketiadaan sarana air bersih, MCK, akses ke posyandu juga susah. Lalu ada juga masalah kemiskinan," katanya.
Karena itu, selama tiga tahun ini, katanya, dana desa tidak hanya untuk membangun infrastruktur yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi saja. Namun, juga untuk membangun infrastruktur dasar guna meningkatkan kualitas hidup manusia. Misalnya saja pembangunan MCK sebanyak 108.000 unit. Meski jumlah ideal MCK seharusnya ada 5 juta unit. Selanjutnya, 30.000 sarana air bersih serta posyandu dan polindes sebanyak 5.000 unit.
Pembangunan infrastruktur dasar ini dampaknya sangat masif. Sebab, dari tiga tahun pengucuran dana desa menurut BPS, angka kemiskinan di desa turun 4,5% atau turun 10 juta orang miskin di desa. Sementara angka stunting dalam tiga tahun turun 10%. Selain itu, dengan adanya produk unggulan kawasan perdesaan (prukades), juga bisa menurunkan angka kemiskinan di desa.
Dia menjelaskan, dengan adanya prukades itu, kepala daerah bisa memetakan potensi daerahnya. Pemerintah pun mempertemukan potensi tersebut dengan 19 kementerian/lembaga lain, sebab mereka pun memiliki program khusus membangun desa. Selain juga mengundang dunia usaha dan perbankan untuk membantu permodalan.
(amm)