Pembatasan Uang Kartal Cegah Praktik Suap dan Pencucian Uang
A
A
A
JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong pemerintah melakukan pembatasan transaksi tunai pada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menghindari dan menurunkan angka kejahatan penyuapan, korupsi, politik uang (money politic), tindak pidana pencucian uang (money laundrying), dan tindak pidana lainnya yang terus membengkak.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, menurut data statistik yang dikeluarkan PPATK, tren korupsi, penyuapan dan kejahatan lainnya mengalami kenaikan secara signifikan. Sejak 2003 hingga Januari 2018, ada 4.155 Hasil Analisis (HA) PPATK yang telah disampaikan ke penyidik.
Dari jumlah tersebut, 1.958 HA diantaranya merupakan terindikasi tindak pidana korupsi dan 113 HA berindikasi tindak pidana penyuapan. Adapun modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing, dan cek perjalanan.
Menurutnya, modus pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai adalah untuk menyulitkan upaya pentrasiran atau pelacakan sumber dana, dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).
"Masih segar dalam ingatan kita bagaimana operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar oleh penegak hukum, hampir seluruhnya melibatkan uang tunai dalam kejahatan yang dilakukan," ujar Kiagus di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Untuk menurunkan tindak pidana korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya, pemerintah harus membatasi transaksi tunai maksimal Rp100 juta. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.
"Lebih dari itu, upaya yang dilakukan ini agar korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya dapat dicegah lebih dini," imbuh dia.
Mantan Sekretaris Jenderal Kemenkeu ini melanjutkan, pemerintah juga perlu mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
"Kedua mata uang tersebut kerap kali dipakai sebagai transaksi korupsi dan penyuapan, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif," tandasnya.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, menurut data statistik yang dikeluarkan PPATK, tren korupsi, penyuapan dan kejahatan lainnya mengalami kenaikan secara signifikan. Sejak 2003 hingga Januari 2018, ada 4.155 Hasil Analisis (HA) PPATK yang telah disampaikan ke penyidik.
Dari jumlah tersebut, 1.958 HA diantaranya merupakan terindikasi tindak pidana korupsi dan 113 HA berindikasi tindak pidana penyuapan. Adapun modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing, dan cek perjalanan.
Menurutnya, modus pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai adalah untuk menyulitkan upaya pentrasiran atau pelacakan sumber dana, dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).
"Masih segar dalam ingatan kita bagaimana operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar oleh penegak hukum, hampir seluruhnya melibatkan uang tunai dalam kejahatan yang dilakukan," ujar Kiagus di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Untuk menurunkan tindak pidana korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya, pemerintah harus membatasi transaksi tunai maksimal Rp100 juta. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.
"Lebih dari itu, upaya yang dilakukan ini agar korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya dapat dicegah lebih dini," imbuh dia.
Mantan Sekretaris Jenderal Kemenkeu ini melanjutkan, pemerintah juga perlu mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
"Kedua mata uang tersebut kerap kali dipakai sebagai transaksi korupsi dan penyuapan, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif," tandasnya.
(ven)