Tren Ekonomi Digital Butuh Dukungan Aspek Legal
A
A
A
DEPOK - Tren ekonomi digital memiliki tantangan khusus dalam aspek legal framework yang harus diatur dalam UU. Salah satu yang harus diselesaikan adalah fenomena praktik bitcoin atau cryptocurrency yang terus berlangsung meskipun otoritas BI dan OJK telah mengharamkannya.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, ada perbedaan antara blockchain yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat namun berbeda dengan cryptocurrency atau bitcoin. Meskipun pihaknya mendukung BI telah melarang tapi kenyataannya masih marak karena melalui jalur bursa berjangka.
"Kami mencoba mengatur namun ada masalah dari UU yang mengizinkan itu masuk dalam bursa berjangka sebagai komoditas. Bitcoin bisa dilihat dalam beberapa aspek yaitu, virtual currency, virtual asset, dan virtual commodity. Kami tidak bisa semena-mena dalam memutuskan karena ada UU," ujar Hendrikus dalam diskusi di FHUI di Depok, Senin (23/4/2018).
Hal senada disampaikan Kepala Grup Teknologi Finansial, Kerja sama dan Komunikasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono yang mengatakan, pihaknya tidak bisa menginteprasikan sendiri fenomena tersebut dan itu bisa salah. Saat ini, faktanya ada perkembangan teknologi aplikasi yang menciptakan model bisnis baru dan penciptaan uang baru.
Sehingga penting saat ini, melihat aspek legal framework untuk melihatnya supaya masyarakat bisa mengambil manfaat perkembangan teknologi. Namun di sisi lainnya, juga harus melindungi konsumen serta perekonomian nasional.
"Kini sudah waktunya kita membahas bagaimana legal framework kegiatan digital ekonomi ini. Hal ini sangat mendasar, terutama apabila semakin banyak teknologi aplikasi baru seperti blockchain. Kita harus bahas semua termasuk UU. Namun ini memang fenomena semua negara saat ini," ujar Erwin.
Dan menurutnya, gelombang industri teknologi finansial tengah menjadi tren yang berkembang di Indonesia. Industri yang satu ini bahkan dengan cepat melesat sebagai primadona di sektor perekonomian dunia. Data statistik dari Bank Indonesia mencatat, total transaksi sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia pada tahun 2017 mencapai USD15,02 miliar atau Rp202,77 triliun.
Jumlah tersebut tumbuh 24,6% dari tahun sebelumnya. Pada 2017, total nilai transaksi di pasar fintech diproyeksikan mencapai USD18,65 miliar atau setara Rp251,775 triliun.
Saat ini pun, menurut catatan Bank Indonesia, pengguna fintech juga semakin berkembang dari tahun ke tahun, dimana awalnya hanya 7% pada tahun 2006-2007, kini perkembangannya di tahun 2017 mencapai 78%. Jumlah pengguna fintech tercatat per 2017 adalah sebanyak 135-140 perusahaan.
Fintech bertujuan memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga meningkatkan literasi keuangan. Di Indonesia sendiri, fintech berkembang di berbagai sektor, mulai dari penggunaan teknologi dalam industri keuangan konvensional seperti bank mau pun non-bank, start-up pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding), remitansi, riset keuangan, dan lain-lain.
Seiring berkembangnya industri ini di Tanah Air, kini industri fintech sudah berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana pada akhir Maret 2018, OJK telah mengeluarkan aturan mengenai inovasi keuangan digital dalam bentuk Peraturan OJK (POJK).
Regulasi ini diperlukan untuk memastikan pelaksanaan sistem pembayaran peminat fintech dapat berjalan aman dan sesuai aturan. Sedangkan untuk pelaku usaha fintech, akan dibuat Sandbox Regulatory yang akan mengatur ketentuan bagi pelaku fintech yang kebanyakan adalah perusahaan start-up berskala kecil.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, ada perbedaan antara blockchain yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat namun berbeda dengan cryptocurrency atau bitcoin. Meskipun pihaknya mendukung BI telah melarang tapi kenyataannya masih marak karena melalui jalur bursa berjangka.
"Kami mencoba mengatur namun ada masalah dari UU yang mengizinkan itu masuk dalam bursa berjangka sebagai komoditas. Bitcoin bisa dilihat dalam beberapa aspek yaitu, virtual currency, virtual asset, dan virtual commodity. Kami tidak bisa semena-mena dalam memutuskan karena ada UU," ujar Hendrikus dalam diskusi di FHUI di Depok, Senin (23/4/2018).
Hal senada disampaikan Kepala Grup Teknologi Finansial, Kerja sama dan Komunikasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono yang mengatakan, pihaknya tidak bisa menginteprasikan sendiri fenomena tersebut dan itu bisa salah. Saat ini, faktanya ada perkembangan teknologi aplikasi yang menciptakan model bisnis baru dan penciptaan uang baru.
Sehingga penting saat ini, melihat aspek legal framework untuk melihatnya supaya masyarakat bisa mengambil manfaat perkembangan teknologi. Namun di sisi lainnya, juga harus melindungi konsumen serta perekonomian nasional.
"Kini sudah waktunya kita membahas bagaimana legal framework kegiatan digital ekonomi ini. Hal ini sangat mendasar, terutama apabila semakin banyak teknologi aplikasi baru seperti blockchain. Kita harus bahas semua termasuk UU. Namun ini memang fenomena semua negara saat ini," ujar Erwin.
Dan menurutnya, gelombang industri teknologi finansial tengah menjadi tren yang berkembang di Indonesia. Industri yang satu ini bahkan dengan cepat melesat sebagai primadona di sektor perekonomian dunia. Data statistik dari Bank Indonesia mencatat, total transaksi sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia pada tahun 2017 mencapai USD15,02 miliar atau Rp202,77 triliun.
Jumlah tersebut tumbuh 24,6% dari tahun sebelumnya. Pada 2017, total nilai transaksi di pasar fintech diproyeksikan mencapai USD18,65 miliar atau setara Rp251,775 triliun.
Saat ini pun, menurut catatan Bank Indonesia, pengguna fintech juga semakin berkembang dari tahun ke tahun, dimana awalnya hanya 7% pada tahun 2006-2007, kini perkembangannya di tahun 2017 mencapai 78%. Jumlah pengguna fintech tercatat per 2017 adalah sebanyak 135-140 perusahaan.
Fintech bertujuan memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga meningkatkan literasi keuangan. Di Indonesia sendiri, fintech berkembang di berbagai sektor, mulai dari penggunaan teknologi dalam industri keuangan konvensional seperti bank mau pun non-bank, start-up pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding), remitansi, riset keuangan, dan lain-lain.
Seiring berkembangnya industri ini di Tanah Air, kini industri fintech sudah berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana pada akhir Maret 2018, OJK telah mengeluarkan aturan mengenai inovasi keuangan digital dalam bentuk Peraturan OJK (POJK).
Regulasi ini diperlukan untuk memastikan pelaksanaan sistem pembayaran peminat fintech dapat berjalan aman dan sesuai aturan. Sedangkan untuk pelaku usaha fintech, akan dibuat Sandbox Regulatory yang akan mengatur ketentuan bagi pelaku fintech yang kebanyakan adalah perusahaan start-up berskala kecil.
(ven)