Pengusaha Ingin Komoditas Ekspor Impor Lolos Karantina Pertanian
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (ASPPHAMI) menginginkan, komoditas ekspor dan impor harus terbebas dari hama dan penyakit. Persyaratan ini juga akan diberlakukan negara-negara anggota International Cargo Cooperative Biosecurity Arrangement (ICCBA), termasuk Indonesia.
Persyaratan di atas juga selaras dengan ketentuan Badan Karantina Pertanian (Barantan) dari Kementerian Pertanian. Untuk itu, Barantan bersama ASPPHAMI gencar melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan swasta menyongsong aturan Biosecurity.
"Untuk komoditas ekspor maupun impor, nantinya harus ada perlakuan karantina. Hal ini demi mencegah masuknya penyebaran atau menetapnya OPTK (organisme penganggu tumbuhan karantina) ke wilayah Indonesia atau ke negara lain," ujar Ketua ASPPHAMI, Boyke Arie Pahlevi dalam keterangan resmi, Senin (7/5/2018).
Menurut Boyke, ASPPHAMI akan mendukung pemerintah melaksanakan karantina, utamanya dalam Phytosanitary Treatment (tindakan pengobatan untuk kesehatan tumbuhan). Semua komoditas ekspor dan impor harus diperiksa kesehatannya oleh Petugas Karantina di lokasi penyimpanannya atau penimbunannya.
Ini salah satu syarat agar barang ekspor dapat keluar dari pabean dan diterima di negara tujuan ekspor, atau barang impor dapat masuk ke wilayah negara Indonesia.
"Jenis perlakuan karantina tumbuhan yang diserahkan kepada ASPPHAMI adalah perlakuan kimiawi dengan fumigasi," kata Boyke. Dan lanjut dia, pelaksanaan fumigasi harus dilaksanakan dengan prosedur yang telah ditetapkan, dengan kualitas yang baik dan konsisten.
Antarjo Dikin, kepala pusat karantina tumbuhan dan keamanan hayati nabati dari Badan Karantina Pertanian mengatakan, komoditas yang memerlukan fumigasi adalah komoditas yang berisiko membawa atau menukarkan hama. Tidak hanya pada komoditasnya, fumigasi juga dapat dikenakan terhadap alat angkut atau kontainer apabila berpotensi membawa hama.
"Selain untuk pencegahan hama dan penyakit, karantina juga diterapkan untuk perlindungan kesehatan manusia dengan pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti pengawasan cemaran kimiawi dan biologi. Saat ini, persyaratan keamanan pangan banyak diterapkan secara ketat oleh negara-negara mitra dagang," kata Antarjo.
Dia menjelaskan, tindakan karantina dilakukan di pre-border, border dan post border. Penerapan tindakan karantina di pre-border dilakukan melalui penguatan persyaratan karantina yang harus dipenuhi oleh negara mitra dagang. Misalnya persyaratan fumigasi sebelum di ekspor ke Indonesia.
Sementara di border, melalui serangkaian tindakan karantina termasuk inspeksi ketika komoditas masuk di pelabuhan atau bandar udara, sedang post border berupa kegiatan monitoring atau post audit terhadap kesesuaian komoditas atau kepatuhan pengguna jasa.
Antarjo menambahkan, untuk pengembangan dan harmonisasi metode pengelolaan risiko karantina dengan negara mitra dagang di lingkungan negara APEC, telah disepakati ICCBA (Internasional Cargo Cooperative Biosecurity Arrangement).
Negara-negara yang sudah menyepakati ICCBA saat ini adalah Australia, Chile, Fiji, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Peru, Filipina dan Thailand serta organisasi regional karantina tumbuhan Amerika Tengah (OIRSA) yang beranggotakan 9 negara.
Menurut dia, kerja sama Barantan dengan pihak terkait sudah terjalin dengan baik dan perusahaan fumigasi turut berperan dalam pelaksanaan karantina. Dalam rangka efektivitas pengelolaan biosecurity, kebijakan Barantan melibatkan pihak swasta sebagai mitra kerja.
Para fumigator yang tergabung dalam ASPPHAMI sudah mendukung dari treatment karantina untuk mendukung perdagangan Indonesia, milion ton rata-rata per tahun yang sudah dilaksanakan.
"Keterlibatan perusahaan fumigasi merupakan suatu model yang dikembangkan oleh Barantan dalam penguatan efektifitas pengelolaan biosecurity risk. Sejauh ini, Barantan sangat terbantu peran perusahaan fumigasi," pungkas Antarjo.
Tidak hanya ASPPHAMI, dalam sosialisasi pelaksanaan karantina itu, Barantan juga menggandeng stakeholder lainnya seperti freight forwarder (EMKL), eksportir, maskapai pelayaran dan penerbangan, surveyor dan pihak terkait lainnnya.
(ven)
Persyaratan di atas juga selaras dengan ketentuan Badan Karantina Pertanian (Barantan) dari Kementerian Pertanian. Untuk itu, Barantan bersama ASPPHAMI gencar melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan swasta menyongsong aturan Biosecurity.
"Untuk komoditas ekspor maupun impor, nantinya harus ada perlakuan karantina. Hal ini demi mencegah masuknya penyebaran atau menetapnya OPTK (organisme penganggu tumbuhan karantina) ke wilayah Indonesia atau ke negara lain," ujar Ketua ASPPHAMI, Boyke Arie Pahlevi dalam keterangan resmi, Senin (7/5/2018).
Menurut Boyke, ASPPHAMI akan mendukung pemerintah melaksanakan karantina, utamanya dalam Phytosanitary Treatment (tindakan pengobatan untuk kesehatan tumbuhan). Semua komoditas ekspor dan impor harus diperiksa kesehatannya oleh Petugas Karantina di lokasi penyimpanannya atau penimbunannya.
Ini salah satu syarat agar barang ekspor dapat keluar dari pabean dan diterima di negara tujuan ekspor, atau barang impor dapat masuk ke wilayah negara Indonesia.
"Jenis perlakuan karantina tumbuhan yang diserahkan kepada ASPPHAMI adalah perlakuan kimiawi dengan fumigasi," kata Boyke. Dan lanjut dia, pelaksanaan fumigasi harus dilaksanakan dengan prosedur yang telah ditetapkan, dengan kualitas yang baik dan konsisten.
Antarjo Dikin, kepala pusat karantina tumbuhan dan keamanan hayati nabati dari Badan Karantina Pertanian mengatakan, komoditas yang memerlukan fumigasi adalah komoditas yang berisiko membawa atau menukarkan hama. Tidak hanya pada komoditasnya, fumigasi juga dapat dikenakan terhadap alat angkut atau kontainer apabila berpotensi membawa hama.
"Selain untuk pencegahan hama dan penyakit, karantina juga diterapkan untuk perlindungan kesehatan manusia dengan pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti pengawasan cemaran kimiawi dan biologi. Saat ini, persyaratan keamanan pangan banyak diterapkan secara ketat oleh negara-negara mitra dagang," kata Antarjo.
Dia menjelaskan, tindakan karantina dilakukan di pre-border, border dan post border. Penerapan tindakan karantina di pre-border dilakukan melalui penguatan persyaratan karantina yang harus dipenuhi oleh negara mitra dagang. Misalnya persyaratan fumigasi sebelum di ekspor ke Indonesia.
Sementara di border, melalui serangkaian tindakan karantina termasuk inspeksi ketika komoditas masuk di pelabuhan atau bandar udara, sedang post border berupa kegiatan monitoring atau post audit terhadap kesesuaian komoditas atau kepatuhan pengguna jasa.
Antarjo menambahkan, untuk pengembangan dan harmonisasi metode pengelolaan risiko karantina dengan negara mitra dagang di lingkungan negara APEC, telah disepakati ICCBA (Internasional Cargo Cooperative Biosecurity Arrangement).
Negara-negara yang sudah menyepakati ICCBA saat ini adalah Australia, Chile, Fiji, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Peru, Filipina dan Thailand serta organisasi regional karantina tumbuhan Amerika Tengah (OIRSA) yang beranggotakan 9 negara.
Menurut dia, kerja sama Barantan dengan pihak terkait sudah terjalin dengan baik dan perusahaan fumigasi turut berperan dalam pelaksanaan karantina. Dalam rangka efektivitas pengelolaan biosecurity, kebijakan Barantan melibatkan pihak swasta sebagai mitra kerja.
Para fumigator yang tergabung dalam ASPPHAMI sudah mendukung dari treatment karantina untuk mendukung perdagangan Indonesia, milion ton rata-rata per tahun yang sudah dilaksanakan.
"Keterlibatan perusahaan fumigasi merupakan suatu model yang dikembangkan oleh Barantan dalam penguatan efektifitas pengelolaan biosecurity risk. Sejauh ini, Barantan sangat terbantu peran perusahaan fumigasi," pungkas Antarjo.
Tidak hanya ASPPHAMI, dalam sosialisasi pelaksanaan karantina itu, Barantan juga menggandeng stakeholder lainnya seperti freight forwarder (EMKL), eksportir, maskapai pelayaran dan penerbangan, surveyor dan pihak terkait lainnnya.
(ven)