Mata Uang Rupee Tertekan, Ekonomi India Hadapi Masalah
A
A
A
NEW DELHI - Ekonomi India tumbuh 7,2% pada tahun 2017 lalu, melonjak dibandingkan tahun 2016 sebesar 6,5%. Tingkat pertumbuhan yang kuat ini, tulis Trading Economics, berkat lonjakan investasi dan konsumsi masyarakat. Namun memasuki tahun 2018 ini, ekonomi India seolah berputar, mengalami stres karena tekanan terhadap mata uang.
Mengutip CNBC, Rabu (9/5/2018), rupee India mengalami tren pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sejak awal 2018. Pada perdagangan Senin lalu, rupee jatuh ke titik terendah 15 bulan, dengan diperdagangkan di level 67,13 rupee per USD. Mata uang India ini sudah jatuh 5,15% terhadap greenback sepanjang tahun ini.
Bank Australia ANZ dan bank asal Belanda, ING memperkirakan rupee akan terus melemah ke depannya. "Analisa kami, rupee akan terus mengalami masalah karena faktor eksternal dan internal, yang mengekspos rupee menuju kelemahan cukup besar di 2018. Dan ini akan berlanjut," ujar Prakash Sakpal, ekonom Asia di ING.
Tekanan terhadap rupee, kata dia, menandakan adanya masalah pada ekonomi India, negara ekonomi terbesar ketiga di Asia. Penyebab masalah ini, demonetisasi mata uang yang dilakukan mendadak, penerapan pajak barang dan jasa yang belum berhasil, dan memuncaknya utang.
Masalah-masalah tersebut ditambah dengan kenaikan harga minyak baru-baru ini, yang mengancam menambah defisit negara pada saat pengeluaran pemerintah sedang meningkat.
India sendiri merupakan negara pengimpor minyak. Nomura Bank dari Jepang, menilai setiap kenaikan harga minyak USD10 per barel bisa memperburuk neraca transaksi berjalan 0,4% dan fiskal 0,1% dari PDB. Lanjut Nomura, ini bisa mencukur sekitar 15 basis poin dari pertumbuhan ekonomi India tahun ini.
Rupee yang melemah dan harga minyak yang lebih tinggi akan menyebabkan inflasi menjadi lebih cepat. Dapat mendorong Reserve Bank of India menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diperkirakan. Dan kata analis, jika ekonomi belum menemukan pijakan yang stabil, hal ini bisa menggagalkan perbaikan ekonomi India.
Dan dengan tingkat suku bunga di Amerika Serikat yang akan meningkat lebih lanjut, India akan kembali menjadi korban. India adalah salah satu korban terbesar selama "Taper Tantrum" pada 2013.
Istilah Taper Tantrum merupakan julukan bagi reaksi pasar atas ucapan dan tindakan Bank Sentral Amerika Serikat. Istilah ini terkenal pada awal 2013, saat Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Ben Bernanke mengurangi pasokan uang beredar ke pasar dari USD85 miliar per bulan menjadi USD55 miliar. Kebijakan yang dilakukan dalam rangka pengetatan kebijakan moneter AS itu memantik reaksi pasar.
Para investor menarik dana-dana investasi portofolio dari negara berkembang untuk dialihkan ke AS. Akibatnya, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang anjlok. Sementara kurs dolar AS mengalami penguatan.
Nah, untuk membela rupee, Reserve Bank of India mengatakan pemerintah bakal melakukan kegiatan ekonomi untuk mempercepat pemulihan rupee. Seperti peningkatan belanja modal dan meningkatkan permintaan global.
"Kami optimis rupee dapat menemukan pijakan ketika harga komoditas dan minyak stabil. Dan pertumbuhan ekonomi global yang berkelanjutan bisa mempersempit defisit transaksi berjalan, meningkatkan pendapatan, dan akhirnya memberi pijakan stabil bagi rupee," tulis mereka.
Mengutip CNBC, Rabu (9/5/2018), rupee India mengalami tren pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sejak awal 2018. Pada perdagangan Senin lalu, rupee jatuh ke titik terendah 15 bulan, dengan diperdagangkan di level 67,13 rupee per USD. Mata uang India ini sudah jatuh 5,15% terhadap greenback sepanjang tahun ini.
Bank Australia ANZ dan bank asal Belanda, ING memperkirakan rupee akan terus melemah ke depannya. "Analisa kami, rupee akan terus mengalami masalah karena faktor eksternal dan internal, yang mengekspos rupee menuju kelemahan cukup besar di 2018. Dan ini akan berlanjut," ujar Prakash Sakpal, ekonom Asia di ING.
Tekanan terhadap rupee, kata dia, menandakan adanya masalah pada ekonomi India, negara ekonomi terbesar ketiga di Asia. Penyebab masalah ini, demonetisasi mata uang yang dilakukan mendadak, penerapan pajak barang dan jasa yang belum berhasil, dan memuncaknya utang.
Masalah-masalah tersebut ditambah dengan kenaikan harga minyak baru-baru ini, yang mengancam menambah defisit negara pada saat pengeluaran pemerintah sedang meningkat.
India sendiri merupakan negara pengimpor minyak. Nomura Bank dari Jepang, menilai setiap kenaikan harga minyak USD10 per barel bisa memperburuk neraca transaksi berjalan 0,4% dan fiskal 0,1% dari PDB. Lanjut Nomura, ini bisa mencukur sekitar 15 basis poin dari pertumbuhan ekonomi India tahun ini.
Rupee yang melemah dan harga minyak yang lebih tinggi akan menyebabkan inflasi menjadi lebih cepat. Dapat mendorong Reserve Bank of India menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diperkirakan. Dan kata analis, jika ekonomi belum menemukan pijakan yang stabil, hal ini bisa menggagalkan perbaikan ekonomi India.
Dan dengan tingkat suku bunga di Amerika Serikat yang akan meningkat lebih lanjut, India akan kembali menjadi korban. India adalah salah satu korban terbesar selama "Taper Tantrum" pada 2013.
Istilah Taper Tantrum merupakan julukan bagi reaksi pasar atas ucapan dan tindakan Bank Sentral Amerika Serikat. Istilah ini terkenal pada awal 2013, saat Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Ben Bernanke mengurangi pasokan uang beredar ke pasar dari USD85 miliar per bulan menjadi USD55 miliar. Kebijakan yang dilakukan dalam rangka pengetatan kebijakan moneter AS itu memantik reaksi pasar.
Para investor menarik dana-dana investasi portofolio dari negara berkembang untuk dialihkan ke AS. Akibatnya, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang anjlok. Sementara kurs dolar AS mengalami penguatan.
Nah, untuk membela rupee, Reserve Bank of India mengatakan pemerintah bakal melakukan kegiatan ekonomi untuk mempercepat pemulihan rupee. Seperti peningkatan belanja modal dan meningkatkan permintaan global.
"Kami optimis rupee dapat menemukan pijakan ketika harga komoditas dan minyak stabil. Dan pertumbuhan ekonomi global yang berkelanjutan bisa mempersempit defisit transaksi berjalan, meningkatkan pendapatan, dan akhirnya memberi pijakan stabil bagi rupee," tulis mereka.
(ven)