Berbahaya bagi Kesehatan, Pemerintah Didesak Hapus Premium
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah didesak untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Penghapusan tersebut dinilai tidak bisa ditawar lagi, setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 Tahun 2017 yang mengatur tentang penerapan standar emisi Euro-4.
"Pemerintah harus segera menghapus premium. Jika tidak, tentu akan bertentangan dengan peraturan yang diterbitkan KLHK tersebut. Pemerintah harus fokus dan memprioritaskan hak masyarakat untuk hidup sehat," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman melalui pers rilis, Minggu (20/5/2018)
Menurut Yusri, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memang terkesan tumpang tindih. Di satu sisi KLHK mengeluarkan permen yang mendukung udara bersih dan sehat melalui peningkatan standar emisi. Namun di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang terkesan memberi keleluasaan kepada premium.
Jika Pemerintah terus melanggengkan premium, lanjut Yusri, yang paling terdampak adalah rakyat kecil. Pasalnya, kemungkinan terpapar emisi karbon dari kendaraan yang menggunakan premium juga semakin besar.
"Mereka adalah pedagang kaki lima, para pejalan kaki, pesepeda motor, pokoknya rakyat kecil kebanyakan. Contohnya yang di Tanah Abang. Jika sudah terkena penyakit, mereka juga yang susah untuk berobat," kata Yusri.
Yusri menilai pemerintah tidak perlu ragu menghapus premium. Menurutnya, penghapusan tersebut tidak akan memunculkan gejolak. Yang paling, imbuh dia, penting, pemerintah secara simultan memberi edukasi mengenai bahaya BBM oktan rendah tersebut.
Menurut dia, kerugian akibat emisi karbon premium memang sangat besar. Di Jakarta saja, pada 2016, biaya pengobatan penyakit karena pencemaran udara sudah mencapai Rp51,2 triliun. Sementara dilihat dari jumlah penduduk yang terpapar penyakit akibat buruknya kualitas udara, sudah mencapai 58,3%.
"Pemerintah harus segera menghapus premium. Jika tidak, tentu akan bertentangan dengan peraturan yang diterbitkan KLHK tersebut. Pemerintah harus fokus dan memprioritaskan hak masyarakat untuk hidup sehat," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman melalui pers rilis, Minggu (20/5/2018)
Menurut Yusri, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memang terkesan tumpang tindih. Di satu sisi KLHK mengeluarkan permen yang mendukung udara bersih dan sehat melalui peningkatan standar emisi. Namun di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang terkesan memberi keleluasaan kepada premium.
Jika Pemerintah terus melanggengkan premium, lanjut Yusri, yang paling terdampak adalah rakyat kecil. Pasalnya, kemungkinan terpapar emisi karbon dari kendaraan yang menggunakan premium juga semakin besar.
"Mereka adalah pedagang kaki lima, para pejalan kaki, pesepeda motor, pokoknya rakyat kecil kebanyakan. Contohnya yang di Tanah Abang. Jika sudah terkena penyakit, mereka juga yang susah untuk berobat," kata Yusri.
Yusri menilai pemerintah tidak perlu ragu menghapus premium. Menurutnya, penghapusan tersebut tidak akan memunculkan gejolak. Yang paling, imbuh dia, penting, pemerintah secara simultan memberi edukasi mengenai bahaya BBM oktan rendah tersebut.
Menurut dia, kerugian akibat emisi karbon premium memang sangat besar. Di Jakarta saja, pada 2016, biaya pengobatan penyakit karena pencemaran udara sudah mencapai Rp51,2 triliun. Sementara dilihat dari jumlah penduduk yang terpapar penyakit akibat buruknya kualitas udara, sudah mencapai 58,3%.
(fjo)