BPK Sebut Data Konsumsi Beras Nasional Tidak Akurat
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa hasil audit menemukan fakta bahwa hingga saat ini persoalan data konsumsi beras nasional masih tidak akurat. Hal ini tentu menjadi persoalan saat Indonesia akan memutuskan untuk membuka keran importasi beras.
Anggota BPK Rizal Djalil mengatakan bahwa saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) diberikan mandat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai sumber data, termasuk data pangan nasional. Oleh karena itu, jika pemerintah akan melakukan impor beras maka sudah seharusnya mengacu pada data yang telah dirilis BPS.
"Pemerintah melakukan impor harus berdasarkan data BPS, pangan yang tersedia berapa, kebutuhannya berapa, baru impornya ditetapkan. Nah jangan sampai kementerian yang terlibat, tidak dilibatkan sepenuhnya. Itu saja," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Kendati demikian, Rizal juga berharap bahwa kecepatan BPS dalam menyediakan data pangan juga harus ditingkatkan. Pasalnya, persoalan pangan merupakan persoalan darurat dan tidak bisa menunggu lama hanya untuk masalah data.
"Saya tahu teman BPS diberikan mandat Presiden bahwa BPS satu-satunya sumber data. Untuk itu tenaga ditambah, anggaran ditambah, regulasi diperbaiki. Tapi kami ingatkan ke BPS, tolong dipercepat, gunakan teknologi canggih, sehingga kebutuhan data yang diperlukan pemerintah bisa tersedia dalam waktu yang cepat," imbuh dia.
Selain persoalan data, lanjut dia, permasalahan pangan di Indonesia juga disebabkan karena sistem pelaporan produktivitas padi nasional tidak akuntabel, data luas lahan yang tidak akurat, dan angka cadangan pangan ideal pemerintah yang hingga kini belum ditetapkan.
"Data luas lahan tidak akurat. Terutama di Karawang, alih fungsi lahannya luar biasa. Dan ini harus kita antisipasi semua bagaimana mencegah alih fungsi lahan ini," tutur dia.
Senada dengan Rizal, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa Indonesia memerlukan data pangan yang valid yang menjadi dasar pengambilan keputusan, termasuk keputusan mengenai impor. Pasalnya, hingga saat ini masih terdapat perbedaan data antar-instansi di pemerintahan.
"Untuk mengakhiri polemik impor, perlu data pangan yang valid yang jadi dasar pengambilan keputusan, termasuk kebijakan impor. Indonesia belum punya data pangan yang valid dan jadi rujukan stakeholder, dan sering terjadi perbedaan data antara pemerintah. Misalnya antara Kementan, Kemendag, dan Bulog. Mudah-mudahan pak Jokowi segera memanggil ketiganya agar bicara keyakinan dan tujuan yang sama," tandasnya.
Anggota BPK Rizal Djalil mengatakan bahwa saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) diberikan mandat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai sumber data, termasuk data pangan nasional. Oleh karena itu, jika pemerintah akan melakukan impor beras maka sudah seharusnya mengacu pada data yang telah dirilis BPS.
"Pemerintah melakukan impor harus berdasarkan data BPS, pangan yang tersedia berapa, kebutuhannya berapa, baru impornya ditetapkan. Nah jangan sampai kementerian yang terlibat, tidak dilibatkan sepenuhnya. Itu saja," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Kendati demikian, Rizal juga berharap bahwa kecepatan BPS dalam menyediakan data pangan juga harus ditingkatkan. Pasalnya, persoalan pangan merupakan persoalan darurat dan tidak bisa menunggu lama hanya untuk masalah data.
"Saya tahu teman BPS diberikan mandat Presiden bahwa BPS satu-satunya sumber data. Untuk itu tenaga ditambah, anggaran ditambah, regulasi diperbaiki. Tapi kami ingatkan ke BPS, tolong dipercepat, gunakan teknologi canggih, sehingga kebutuhan data yang diperlukan pemerintah bisa tersedia dalam waktu yang cepat," imbuh dia.
Selain persoalan data, lanjut dia, permasalahan pangan di Indonesia juga disebabkan karena sistem pelaporan produktivitas padi nasional tidak akuntabel, data luas lahan yang tidak akurat, dan angka cadangan pangan ideal pemerintah yang hingga kini belum ditetapkan.
"Data luas lahan tidak akurat. Terutama di Karawang, alih fungsi lahannya luar biasa. Dan ini harus kita antisipasi semua bagaimana mencegah alih fungsi lahan ini," tutur dia.
Senada dengan Rizal, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa Indonesia memerlukan data pangan yang valid yang menjadi dasar pengambilan keputusan, termasuk keputusan mengenai impor. Pasalnya, hingga saat ini masih terdapat perbedaan data antar-instansi di pemerintahan.
"Untuk mengakhiri polemik impor, perlu data pangan yang valid yang jadi dasar pengambilan keputusan, termasuk kebijakan impor. Indonesia belum punya data pangan yang valid dan jadi rujukan stakeholder, dan sering terjadi perbedaan data antara pemerintah. Misalnya antara Kementan, Kemendag, dan Bulog. Mudah-mudahan pak Jokowi segera memanggil ketiganya agar bicara keyakinan dan tujuan yang sama," tandasnya.
(fjo)