Perry Warjiyo: Ekonomi Indonesia Tahan Menghadapi Gejolak Global
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan fiskal di Amerika Serikat telah mengguncang beberapa mata uang di dunia, seperti lira Turki, peso Argentina, rupee India, dan rupiah Indonesia. Terkanan pada stabilitas nilai tukar ini telah berpengaruh terhadap kondisi perekonomian negara-negara tersebut, termasuk Indonesia.
Meski begitu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimis akan daya imun ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak dari luar. Gubernur bank sentral anyar ini, hakul yakin ketahanan ekonomi Indonesia mumpuni untuk menghadapi tekanan global.
Dia mengatakan, tekanan yang terjadi terhadap stabilitas nilai tukar di Indonesia dan negara lain di dunia disebabkan rencana kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (Fed Fund Rate) yang diperkirakan lebih agresif. Selain itu, kebijakan fiskal Negeri Paman Sam yang lebih ekspansif serta risiko geopolitik, termasuk ketidakpastian global karena perang dagang antara AS dan China.
"Ini yang menyebabkan tidak hanya suku bunga AS naik dan dolar kuat, tapi juga premi risiko di global itu naik," katanya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (28/5/2018).
Optimisme Perry soal ketahanan ekonomi Indonesia, merujuk pada pengalaman negeri ini dalam melewati gejolak. Indonesia pernah menghadapi kondisi yang lebih parah dari kondisi sekarang. Misalnya, krisis Yunani pada 2011, taper tantrum pada 2013, revisi pertumbuhan ekonomi China pada 2015 dan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
"Saya merasa yakin ketahanan ekonomi Indonesia itu kuat terhadap tekanan eksternal apakah pada saat ini, maupun episode tekanan sebelumnya pada krisis Yunani di Oktober 2011, taper tantrum pada Mei 2013, revisi growth China 2015, dan juga Brexit. Dan Indonesia menunjukkan ketahanan yang kuat," imbuh dia.
Menurutnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia juga cukup baik sehingga bisa menangkal gejolak-gejolak yang terjadi. Ini terlihat dari inflasi yang jauh lebih rendah dari sebelumnya, defisit transaksi berjalan yang lebih kecil, serta stabilitas sistem keuangan yang terjaga. "Faktor itu menunjukkan kondisi fundamental kita cukup baik dan lebih baik dari tekanan sebelumnya," ucapnya.
Selain itu, pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya terus berkoordinasi mengambil langkah kebijakan koordinatif dalam menghadapi risiko perekonomian global tersebut. Serta, Indonesia juga memiliki bantalan yang cukup kuat dalam mengatasi sejumlah tekanan eksternal.
"Buffernya itu adalah cadangan devisa yang cukup, terakhir di level USD124 miliar dan lebih dari cukup untuk pembayaran impor, ULN, atau antisipasi capital revearsal. Cadev lebih dari cukup. Dan kondisi sekarang kita sudah mempunyai UU Nomor 9 Tahun 2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan. Jadi tiga faktor ini yang menunjukkan kenapa Indonesia ketahanannya cukup kuat," tandasnya.
Meski begitu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimis akan daya imun ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak dari luar. Gubernur bank sentral anyar ini, hakul yakin ketahanan ekonomi Indonesia mumpuni untuk menghadapi tekanan global.
Dia mengatakan, tekanan yang terjadi terhadap stabilitas nilai tukar di Indonesia dan negara lain di dunia disebabkan rencana kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (Fed Fund Rate) yang diperkirakan lebih agresif. Selain itu, kebijakan fiskal Negeri Paman Sam yang lebih ekspansif serta risiko geopolitik, termasuk ketidakpastian global karena perang dagang antara AS dan China.
"Ini yang menyebabkan tidak hanya suku bunga AS naik dan dolar kuat, tapi juga premi risiko di global itu naik," katanya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (28/5/2018).
Optimisme Perry soal ketahanan ekonomi Indonesia, merujuk pada pengalaman negeri ini dalam melewati gejolak. Indonesia pernah menghadapi kondisi yang lebih parah dari kondisi sekarang. Misalnya, krisis Yunani pada 2011, taper tantrum pada 2013, revisi pertumbuhan ekonomi China pada 2015 dan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
"Saya merasa yakin ketahanan ekonomi Indonesia itu kuat terhadap tekanan eksternal apakah pada saat ini, maupun episode tekanan sebelumnya pada krisis Yunani di Oktober 2011, taper tantrum pada Mei 2013, revisi growth China 2015, dan juga Brexit. Dan Indonesia menunjukkan ketahanan yang kuat," imbuh dia.
Menurutnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia juga cukup baik sehingga bisa menangkal gejolak-gejolak yang terjadi. Ini terlihat dari inflasi yang jauh lebih rendah dari sebelumnya, defisit transaksi berjalan yang lebih kecil, serta stabilitas sistem keuangan yang terjaga. "Faktor itu menunjukkan kondisi fundamental kita cukup baik dan lebih baik dari tekanan sebelumnya," ucapnya.
Selain itu, pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya terus berkoordinasi mengambil langkah kebijakan koordinatif dalam menghadapi risiko perekonomian global tersebut. Serta, Indonesia juga memiliki bantalan yang cukup kuat dalam mengatasi sejumlah tekanan eksternal.
"Buffernya itu adalah cadangan devisa yang cukup, terakhir di level USD124 miliar dan lebih dari cukup untuk pembayaran impor, ULN, atau antisipasi capital revearsal. Cadev lebih dari cukup. Dan kondisi sekarang kita sudah mempunyai UU Nomor 9 Tahun 2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan. Jadi tiga faktor ini yang menunjukkan kenapa Indonesia ketahanannya cukup kuat," tandasnya.
(ven)