Dinilai Berisiko, Energi Terbarukan Sulit Dapat Pinjaman Bank
A
A
A
JAKARTA - Sektor energi baru dan terbarukan (EBT) ternyata masih kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan. Pasalnya, sektor ini dinilai berisiko tinggi.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris mengatakan, karena dinilai berisiko, perusahaan yang ingin mengakses pembiayaan dari bank lokal untuk pengembangan EBT selalu dikenakan beban bunga yang tinggi.
"Ini kan terkait risiko, berapa rate yang diberikan tergantung risiko perusahaan tadi. Jadi, itu yang masih sulit untuk diturunkan," ujarnya dalam diskusi Weekly Forum bertajuk "Sejahterakan Masyarakat Lewat Energi Baru dan Terbarukan, Bisakah?" di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Padahal, Harris menjelaskan, pengembangan EBT dan pengembalian modalnya sebetulnya layak secara bisnis. Dia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia Timur.
"Kontrak 20 tahun sebenarnya sudah bisa, tapi bank lokal kita masih lihat belum familiar dengan proyek terbarukan dan konversi energi," tuturnya.
Dia menambahkan, sebenarnya sudah cukup banyak lembaga pembiayaan dunia yang mau membantu pengembangan sektor ini, seperti World Bank. Namun, kata Harris, agar efisien sebaiknya permintaan pembiayaan tidak datang satu-satu dari masing-masing perusahaan.
"Jadi, kalau kembangkan EBT khusus skala kecil keekonomiannya sulit, tapi kalau di-bundling bisa lebih ekonomis. Itu juga salah satu rekomendasi OJK," pungkasnya.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris mengatakan, karena dinilai berisiko, perusahaan yang ingin mengakses pembiayaan dari bank lokal untuk pengembangan EBT selalu dikenakan beban bunga yang tinggi.
"Ini kan terkait risiko, berapa rate yang diberikan tergantung risiko perusahaan tadi. Jadi, itu yang masih sulit untuk diturunkan," ujarnya dalam diskusi Weekly Forum bertajuk "Sejahterakan Masyarakat Lewat Energi Baru dan Terbarukan, Bisakah?" di Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Padahal, Harris menjelaskan, pengembangan EBT dan pengembalian modalnya sebetulnya layak secara bisnis. Dia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia Timur.
"Kontrak 20 tahun sebenarnya sudah bisa, tapi bank lokal kita masih lihat belum familiar dengan proyek terbarukan dan konversi energi," tuturnya.
Dia menambahkan, sebenarnya sudah cukup banyak lembaga pembiayaan dunia yang mau membantu pengembangan sektor ini, seperti World Bank. Namun, kata Harris, agar efisien sebaiknya permintaan pembiayaan tidak datang satu-satu dari masing-masing perusahaan.
"Jadi, kalau kembangkan EBT khusus skala kecil keekonomiannya sulit, tapi kalau di-bundling bisa lebih ekonomis. Itu juga salah satu rekomendasi OJK," pungkasnya.
(fjo)