Menko Airlangga Akui Cari Sumber Pembiayaan Proyek Energi Fosil Makin Susah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menerangkan, lembaga penyedia dana lebih suka membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan daripada proyek berbasis energi fosil . Indonesia sendiri memiliki potensi energi terbarukan (EBT) yang beragam, mulai dari tenaga air, angin hingga matahari.
"Biaya teknologi EBT semakin murah membuat EBT menjadi lebih kompetitif. Kita lihat sumber dan akses pembiayaan semakin sulit untuk fosil dan memudahkan untuk EBT," ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam video virtual, Senin (26/4/2021).
Dia menjelaskan, pasar global mulai menilai produk hasil industri yang memiliki catatan carbon footprint yang rendah. Carbon footprint ialah jumlah gas efek rumah kaca termasuk karbon dioksida dan gas metana dari suatu kegiatan.
"Produk industri pengolahan dilihat dari hasil listriknya, sumber energi listrik dari fosil jadi tidak lebih menjanjikan daripada EBT. Hal ini tentu berdampak pada ekspor hasil produk industri pengolahan," imbuhnya.
Airlangga menambahkan, Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual dan 415 dari business as usual dengan bantuan internasional.
"Melalui penerbitan UU No.16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement, dimana pemanfaatan EBT dan konservasi energi akan berkontribusi signifikan terhadap penurunan emisi rumah kaca dan meningkatkan akses terhadap energi bersih dan terjangkau," tandasnya.
Sebagai informasi pemanfaatan potensi energi terbarukan (EBT) di Tanah Air masih belum maksimal. Tercatat hingga akhir 2020, total kapasitas listrik berbasis EBT mencapai 10,5 GW, dengan kapasitas terbesar dari tenaga air sebesar 6,1 GW dan panas bumi 2,1 GW.
"Biaya teknologi EBT semakin murah membuat EBT menjadi lebih kompetitif. Kita lihat sumber dan akses pembiayaan semakin sulit untuk fosil dan memudahkan untuk EBT," ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam video virtual, Senin (26/4/2021).
Dia menjelaskan, pasar global mulai menilai produk hasil industri yang memiliki catatan carbon footprint yang rendah. Carbon footprint ialah jumlah gas efek rumah kaca termasuk karbon dioksida dan gas metana dari suatu kegiatan.
"Produk industri pengolahan dilihat dari hasil listriknya, sumber energi listrik dari fosil jadi tidak lebih menjanjikan daripada EBT. Hal ini tentu berdampak pada ekspor hasil produk industri pengolahan," imbuhnya.
Airlangga menambahkan, Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual dan 415 dari business as usual dengan bantuan internasional.
"Melalui penerbitan UU No.16/2016 tentang pengesahan Paris Agreement, dimana pemanfaatan EBT dan konservasi energi akan berkontribusi signifikan terhadap penurunan emisi rumah kaca dan meningkatkan akses terhadap energi bersih dan terjangkau," tandasnya.
Sebagai informasi pemanfaatan potensi energi terbarukan (EBT) di Tanah Air masih belum maksimal. Tercatat hingga akhir 2020, total kapasitas listrik berbasis EBT mencapai 10,5 GW, dengan kapasitas terbesar dari tenaga air sebesar 6,1 GW dan panas bumi 2,1 GW.
(akr)