Integrasi PGN-Pertagas Perkuat Infrastruktur Gas
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) resmi menandatangani Conditional Sales Purchasing Agreement (CSPA). Dalam perjanjian ini, Pertagas akan terkonsolidasi dan menjadi anak perusahaan PGN.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Harry Sampurno mengatakan, penandatanganan CSPA antara Pertamina dan PGN ini merupakan kesatuan proses dalam pembentukan Holding BUMN Migas yang resmi berdiri pada 11 April 2018 lalu.
"Kesepakatan ini telah menerapkan Good Corporate Governance dengan mematuhi Peraturan Perundangan yang berlaku, khususnya di bidang pasar modal secara transparan," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Harry menegaskan, pemerintah melalui Kementerian BUMN memberikan apresiasi kepada manajemen Pertamina, PGN dan Pertagas yang secara simultan melakukan pembahasan teknis terkait integrasi tersebut sehingga kesepakatan ini bisa tercapai.
"BUMN merupakan milik negara dan berarti milik rakyat yang membawa misi memberikan keuntungan bagi perekonomian negara," tegasnya.
Sementara Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng mengatakan, penggabungan Pertagas dengan PGN agar tidak menimbulkan konflik.
"Sebab, muara dari konflik ini nantinya pastilah merugikan masyarakat karena harus membayar gas dengan harga mahal," tegasnya.
Banyak pihak sudah mengingatkan dari awal bahwa holding ini harus dimulai dengan regulasi atau perundang-undangan yang kuat dan jelas. Tidak boleh didasarkan pada keinginan sesaat pemerintah.
"Karena peraturan yang lemah yang mendasari Holding BUMN akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu," tegasnya.
Dalam sistem yang ada sekarang bisnis gas memiliki rantai yang panjang untuk mencapai end user. Dalam rantai bisnis dari hulu sampai ke hilir inilah aktor-aktor politik berpeluang ambil bagian.
"Mereka (aktor politik) bisa saja membentuk oligarki untuk mengambil keuntungan bagi koneksi dan jaringan bisnis mereka," ujar Salamudin. Permainan oligarki yang paling menonjol di dalam BUMN gas, kata dia, adalah peran para trader swasta.
Mereka mengambil keuntungan cukup besar dalam proses distribusi gas yang yang dihasilkan oleh BUMN baik oleh Pertamina Gas (Pertagas), maupun oleh Perusahaan Gas Negara (PGN).
"Sekarang PGN dan Pertagas tengah digabungkan dalam skema yang tidak clear, cenderung tumpang tindih dan mekanisme yang berubah ubah dari rencana awal. Secara tehnis dan detail hanya pemerintah yang tahu," paparnya.
Pemerintah diminta fokus mengatasi kurang efektif dan efisiennya distribusi gas ke end user. "Sumber masalahnya adalah peran para trader yang sangat dominan. Jadi kalau mau memperbaiki sistem pengelolaan gas maka peran trader dalam rantai bisnis ini diminimalisir. Seharusnya BUMN bisa mengerjakan sendiri distribusi gas sampai ke hilir," pungkasnya.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Harry Sampurno mengatakan, penandatanganan CSPA antara Pertamina dan PGN ini merupakan kesatuan proses dalam pembentukan Holding BUMN Migas yang resmi berdiri pada 11 April 2018 lalu.
"Kesepakatan ini telah menerapkan Good Corporate Governance dengan mematuhi Peraturan Perundangan yang berlaku, khususnya di bidang pasar modal secara transparan," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Harry menegaskan, pemerintah melalui Kementerian BUMN memberikan apresiasi kepada manajemen Pertamina, PGN dan Pertagas yang secara simultan melakukan pembahasan teknis terkait integrasi tersebut sehingga kesepakatan ini bisa tercapai.
"BUMN merupakan milik negara dan berarti milik rakyat yang membawa misi memberikan keuntungan bagi perekonomian negara," tegasnya.
Sementara Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng mengatakan, penggabungan Pertagas dengan PGN agar tidak menimbulkan konflik.
"Sebab, muara dari konflik ini nantinya pastilah merugikan masyarakat karena harus membayar gas dengan harga mahal," tegasnya.
Banyak pihak sudah mengingatkan dari awal bahwa holding ini harus dimulai dengan regulasi atau perundang-undangan yang kuat dan jelas. Tidak boleh didasarkan pada keinginan sesaat pemerintah.
"Karena peraturan yang lemah yang mendasari Holding BUMN akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu," tegasnya.
Dalam sistem yang ada sekarang bisnis gas memiliki rantai yang panjang untuk mencapai end user. Dalam rantai bisnis dari hulu sampai ke hilir inilah aktor-aktor politik berpeluang ambil bagian.
"Mereka (aktor politik) bisa saja membentuk oligarki untuk mengambil keuntungan bagi koneksi dan jaringan bisnis mereka," ujar Salamudin. Permainan oligarki yang paling menonjol di dalam BUMN gas, kata dia, adalah peran para trader swasta.
Mereka mengambil keuntungan cukup besar dalam proses distribusi gas yang yang dihasilkan oleh BUMN baik oleh Pertamina Gas (Pertagas), maupun oleh Perusahaan Gas Negara (PGN).
"Sekarang PGN dan Pertagas tengah digabungkan dalam skema yang tidak clear, cenderung tumpang tindih dan mekanisme yang berubah ubah dari rencana awal. Secara tehnis dan detail hanya pemerintah yang tahu," paparnya.
Pemerintah diminta fokus mengatasi kurang efektif dan efisiennya distribusi gas ke end user. "Sumber masalahnya adalah peran para trader yang sangat dominan. Jadi kalau mau memperbaiki sistem pengelolaan gas maka peran trader dalam rantai bisnis ini diminimalisir. Seharusnya BUMN bisa mengerjakan sendiri distribusi gas sampai ke hilir," pungkasnya.
(ven)