Industri Baja Dibanjiri Produk Impor, Pemerintah Diminta Waspada
A
A
A
JAKARTA - Pasar baja domestik masih mengalami tekanan yang diakibatkan oleh membanjirnya produk impor. Komisaris PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Roy Maningkas mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan volume impor baja paduan dari RRT sebesar 59% pada kuartal pertama 2018 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Roy juga menambahkan bahwa peningkatan impor tersebut hanya terjadi pada Indonesia sementara pada negara ASEAN lainnya hal tersebut tidak terjadi. "Impor baja paduan RRT di negara ASEAN-6 mengalami penurunan volume impor yang cukup signifikan karena saat ini RRT melakukan pemangkasan kapasitas produksi," ujar Roy di Jakarta, Senin (1/7/2018).
Hal tersebut terungkap dalam perhelatan acara “2018 SEAISI Conference & Exhibition” yang berlangsung di Jakarta pada 25-28 Juni 2018 yang lalu. Produk baja impor tersebut diduga sebagian besar masuk ke pasar Indonesia dengan cara unfair trade yang salah satunya adalah dengan cara penyalahgunaan kategori pos tarif baja paduan.
Sambung dia menyampaikan bahwa terjadinya peningkatan volume impor baja paduan merupakan suatu indikasi bahwa masih terjadi praktek circumvention yang dilakukan oleh eksportir RRT. "Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menghapus ketentuan Pertimbangan Teknis melalui Permendag 22/2018 juga berdampak pada industri baja dalam negeri karena saat ini semakin mudah untuk melakukan impor baja," imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa peningkatan impor dari RRT tersebut didominasi oleh produk baja Hot Rolled Coil, Plate, Cold Rolled Coil, Section dan Wire Rod. Roy mengambil contoh pada produk Section dan Plate dimana terjadi penurunan volume impor baja paduan di semua negara ASEAN kecuali Indonesia dan Malaysia.
Dalam kasus Malaysia, dapat dipahami bahwa kebutuhan negara tersebut atas produk baja impor memang tinggi dikarenakan salah satu produsen domestiknya sudah berhenti beroperasi sejak Agustus 2016, namun untuk Indonesia dimana banyak produsen domestik beroperasi maka kenaikan volume impor menjadi sebuah pertanyaan. "Perlu dilakukan evaluasi kebijakan pemerintah terkait ketentuan impor baja, apakah sudah tepat?," tegas Roy.
Pada kesempatan tersebut, Roy juga menyampaikan mengenai ditemukannya produk baja HRC murah yang beredar belakangan ini di beberapa daerah di pulau Jawa, antara lain telah ditemukan puluhan ribu ton di wilayah Jawa Timur dan puluhan ribu ton juga beredar di wilayah Banten.
Berdasarkan label produk yang melekat pada coil, diduga barang tersebut berasal dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, yang merupakan grup perusahaan Tsingshan yang berasal dari Tiongkok. Pada label tersebut juga tidak ditemukan adanya logo SNI maupun keterangan Nomor Registrasi Produk (NRP).
Sebagaimana diketahui bahwa lokasi pabrik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry sendiri berada di Morowali, Sulawesi Tengah. Roy mempertanyakan mengapa produk baja tanpa label SNI dan NRP bisa bebas beredar tanpa pengawasan dari pihak berwenang, dan juga mempersoalkan mengapa perusahaan di Sulawesi yang menurut berita hanya memiliki ijin menjual produk stainless steel ternyata kini ditemukan bisa memproduksi dan menjual produk baja karbon tanpa label SNI dan ketentuan registrasi produk yang berlaku.
Hal ini dipandang telah menciptakan persoalan baru di tengah-tengah kesulitan yang dialami produsen baja domestik yang sedang dihimpit oleh baja impor murah, kini justru semakin dipersulit dengan beredarnya baja murah non SNI dari produsen lokal yang diduga menyalahi ijin peredaran produk dan ketentuan SNI wajib yang berlaku.
Roy juga menambahkan bahwa peningkatan impor tersebut hanya terjadi pada Indonesia sementara pada negara ASEAN lainnya hal tersebut tidak terjadi. "Impor baja paduan RRT di negara ASEAN-6 mengalami penurunan volume impor yang cukup signifikan karena saat ini RRT melakukan pemangkasan kapasitas produksi," ujar Roy di Jakarta, Senin (1/7/2018).
Hal tersebut terungkap dalam perhelatan acara “2018 SEAISI Conference & Exhibition” yang berlangsung di Jakarta pada 25-28 Juni 2018 yang lalu. Produk baja impor tersebut diduga sebagian besar masuk ke pasar Indonesia dengan cara unfair trade yang salah satunya adalah dengan cara penyalahgunaan kategori pos tarif baja paduan.
Sambung dia menyampaikan bahwa terjadinya peningkatan volume impor baja paduan merupakan suatu indikasi bahwa masih terjadi praktek circumvention yang dilakukan oleh eksportir RRT. "Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menghapus ketentuan Pertimbangan Teknis melalui Permendag 22/2018 juga berdampak pada industri baja dalam negeri karena saat ini semakin mudah untuk melakukan impor baja," imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa peningkatan impor dari RRT tersebut didominasi oleh produk baja Hot Rolled Coil, Plate, Cold Rolled Coil, Section dan Wire Rod. Roy mengambil contoh pada produk Section dan Plate dimana terjadi penurunan volume impor baja paduan di semua negara ASEAN kecuali Indonesia dan Malaysia.
Dalam kasus Malaysia, dapat dipahami bahwa kebutuhan negara tersebut atas produk baja impor memang tinggi dikarenakan salah satu produsen domestiknya sudah berhenti beroperasi sejak Agustus 2016, namun untuk Indonesia dimana banyak produsen domestik beroperasi maka kenaikan volume impor menjadi sebuah pertanyaan. "Perlu dilakukan evaluasi kebijakan pemerintah terkait ketentuan impor baja, apakah sudah tepat?," tegas Roy.
Pada kesempatan tersebut, Roy juga menyampaikan mengenai ditemukannya produk baja HRC murah yang beredar belakangan ini di beberapa daerah di pulau Jawa, antara lain telah ditemukan puluhan ribu ton di wilayah Jawa Timur dan puluhan ribu ton juga beredar di wilayah Banten.
Berdasarkan label produk yang melekat pada coil, diduga barang tersebut berasal dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, yang merupakan grup perusahaan Tsingshan yang berasal dari Tiongkok. Pada label tersebut juga tidak ditemukan adanya logo SNI maupun keterangan Nomor Registrasi Produk (NRP).
Sebagaimana diketahui bahwa lokasi pabrik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry sendiri berada di Morowali, Sulawesi Tengah. Roy mempertanyakan mengapa produk baja tanpa label SNI dan NRP bisa bebas beredar tanpa pengawasan dari pihak berwenang, dan juga mempersoalkan mengapa perusahaan di Sulawesi yang menurut berita hanya memiliki ijin menjual produk stainless steel ternyata kini ditemukan bisa memproduksi dan menjual produk baja karbon tanpa label SNI dan ketentuan registrasi produk yang berlaku.
Hal ini dipandang telah menciptakan persoalan baru di tengah-tengah kesulitan yang dialami produsen baja domestik yang sedang dihimpit oleh baja impor murah, kini justru semakin dipersulit dengan beredarnya baja murah non SNI dari produsen lokal yang diduga menyalahi ijin peredaran produk dan ketentuan SNI wajib yang berlaku.
(akr)