Harga Beras Turun Petani Tetap Untung
A
A
A
JAKARTA - Harga beras turun merugikan petani. Anggapan ini yang biasa dipahami jika terjadi penurunan harga beras di pasar. Logika berpikirnya, jika harga di pasar rendah maka harga beli dari petani juga rendah. Dan ini membuat keuntungan yang diperoleh petani semakin kecil mengingat biaya produksi tanam yang semakin tinggi. Tetapi apa yang baru saja terjadi justru sebaliknya.
"Menarik mencermati data indikatator ekonomi harga gabah dan beras serta Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) bulan Juni 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini," ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Ketut Kariyasa di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Ketut menegaskan rata-rata harga gabah baik dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) mengalami peningkatan di tingkat petani dan penggilingan dibanding Mei 2018. Harga GKP di tingkat petani naik 2,10% menjadi Rp 4.650/kg dan untuk GKG naik 1,78% menjadi Rp 5.361/Kg. Demikian juga di tingkat penggilingan, GKP naik 2,08% menjadi Rp 4.739/kg dan GKG naik 1,76% menjadi Rp 5.468/kg.
“Sementara itu, pada saat yang sama harga beras sebaliknya menurun yaitu 0,48% menjadi Rp 9.478/kg untuk beras premium, menurun 0,60% menjadi Rp 9.135/kg untuk beras medium, dan menurun 0,67% menjadi Rp 8.941/kg untuk beras kualitas rendah,” tegasnya.
Tentang apa yang terjadi dan bagaimana menjelaskan petani tetap untung saat harga beras turun, Ketut menjelaskan pergerakan harga beras dan gabah yang berlawanan ini sebenarnya dapat dikaitkan dengan kinerja pasar beras yang menjadi lebih efisien, sehingga dapat mengurangi margin pemasaran yang harus ditanggung.
Kehadiran program-program terobosan yang dilakukan Kementerian Pertanian seperti Toko Tani Indonesia (TTI) yang sudah dikembangkan sejak tahun 2016 di berbagai wilayah, diyakini turut membuat kinerja pasar beras menjadi lebih efisien. “Ini ditandai harga gabah di tingkat produsen menjadi membaik. Dan sebaliknya, harga beras di tingkat konsumen menjadi lebih murah,” cetus Ketut.
Menurut Ketut, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Kepala BPS Suharyanto mengenai data yang dirilis lembaga yang dipimpinnya. Bahwa Perbaikan tata niaga pertanian berkontribusi pada perbaikan kesejahteraan di tingkat petani sekaligus perbaikan harga di tingkat konsumen.
Lalu apa dampak dari membaiknya kinerja pasar beras / tata niaga pertanian sebagaimana disampaikan Suharyanto? Ketut menyebut paling tidak dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, membaiknya harga gabah turut menyebabkan membaiknya kesejahteraan atau daya beli petani, yang terlihat dari naiknya NTP sebesar 0,05% menjadi 102,04 dan NTUP naik 0,12% menjadi 111,51.
“Kedua, menurunnya harga beras tentu saja menyebabkan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan dan perdesaan akan menurun, mengingat sampai saat ini pangan beras masih merupakan penyumbang terbesar pada pembentukan garis kemiskinan,” ungkap Ketut.
Menurut data BPS September 2017, kontribusi beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan masih sekitar 18,8%, bahkan di perdesaan lebih besar lagi, mencapai 24,52%.
“Dengan adanya penurunan harga beras tersebut menyebabkan daya beli konsumen terhadap pangan beras meningkat, sehingga tentunya akan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin," sambung Ketut.
Menurunnya jumlah penduduk miskin ini, Ketut menambahkan, sejalan dengan apa yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Jokowi-JK, di mana pada tahun 2018 diharapkan jumlah penduduk miskin secara nasional tinggal di bawah 10%. Selain melalui program pembenahan rantai pasok melalui TTI, meningkatkan pasokan pangan dari produksi dalam negeri melalui program Upsus Pajale.
“Pada tahun ini Kementan juga sedang menginisiasi Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera Berbasis Pertanian atau yang dikenal BEKERJA yang sangat relevan dengan upaya ini, sebagai solusi permanen mengentaskan masyarakat perdesaan dari kemiskinan," tutup Ketut.
"Menarik mencermati data indikatator ekonomi harga gabah dan beras serta Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) bulan Juni 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini," ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Ketut Kariyasa di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Ketut menegaskan rata-rata harga gabah baik dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) mengalami peningkatan di tingkat petani dan penggilingan dibanding Mei 2018. Harga GKP di tingkat petani naik 2,10% menjadi Rp 4.650/kg dan untuk GKG naik 1,78% menjadi Rp 5.361/Kg. Demikian juga di tingkat penggilingan, GKP naik 2,08% menjadi Rp 4.739/kg dan GKG naik 1,76% menjadi Rp 5.468/kg.
“Sementara itu, pada saat yang sama harga beras sebaliknya menurun yaitu 0,48% menjadi Rp 9.478/kg untuk beras premium, menurun 0,60% menjadi Rp 9.135/kg untuk beras medium, dan menurun 0,67% menjadi Rp 8.941/kg untuk beras kualitas rendah,” tegasnya.
Tentang apa yang terjadi dan bagaimana menjelaskan petani tetap untung saat harga beras turun, Ketut menjelaskan pergerakan harga beras dan gabah yang berlawanan ini sebenarnya dapat dikaitkan dengan kinerja pasar beras yang menjadi lebih efisien, sehingga dapat mengurangi margin pemasaran yang harus ditanggung.
Kehadiran program-program terobosan yang dilakukan Kementerian Pertanian seperti Toko Tani Indonesia (TTI) yang sudah dikembangkan sejak tahun 2016 di berbagai wilayah, diyakini turut membuat kinerja pasar beras menjadi lebih efisien. “Ini ditandai harga gabah di tingkat produsen menjadi membaik. Dan sebaliknya, harga beras di tingkat konsumen menjadi lebih murah,” cetus Ketut.
Menurut Ketut, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Kepala BPS Suharyanto mengenai data yang dirilis lembaga yang dipimpinnya. Bahwa Perbaikan tata niaga pertanian berkontribusi pada perbaikan kesejahteraan di tingkat petani sekaligus perbaikan harga di tingkat konsumen.
Lalu apa dampak dari membaiknya kinerja pasar beras / tata niaga pertanian sebagaimana disampaikan Suharyanto? Ketut menyebut paling tidak dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, membaiknya harga gabah turut menyebabkan membaiknya kesejahteraan atau daya beli petani, yang terlihat dari naiknya NTP sebesar 0,05% menjadi 102,04 dan NTUP naik 0,12% menjadi 111,51.
“Kedua, menurunnya harga beras tentu saja menyebabkan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan dan perdesaan akan menurun, mengingat sampai saat ini pangan beras masih merupakan penyumbang terbesar pada pembentukan garis kemiskinan,” ungkap Ketut.
Menurut data BPS September 2017, kontribusi beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan masih sekitar 18,8%, bahkan di perdesaan lebih besar lagi, mencapai 24,52%.
“Dengan adanya penurunan harga beras tersebut menyebabkan daya beli konsumen terhadap pangan beras meningkat, sehingga tentunya akan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin," sambung Ketut.
Menurunnya jumlah penduduk miskin ini, Ketut menambahkan, sejalan dengan apa yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Jokowi-JK, di mana pada tahun 2018 diharapkan jumlah penduduk miskin secara nasional tinggal di bawah 10%. Selain melalui program pembenahan rantai pasok melalui TTI, meningkatkan pasokan pangan dari produksi dalam negeri melalui program Upsus Pajale.
“Pada tahun ini Kementan juga sedang menginisiasi Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera Berbasis Pertanian atau yang dikenal BEKERJA yang sangat relevan dengan upaya ini, sebagai solusi permanen mengentaskan masyarakat perdesaan dari kemiskinan," tutup Ketut.
(akr)