Dolar Tinggi, Industri Makanan Tertekan
A
A
A
JAKARTA - Industri makanan dan minuman turut merasakan pengaruh pelemahan rupiah yang masih saja terjadi. Gejolak kurs rupiah menjadi momok tersendiri bagi industri makanan minuman karena bahan bakunya didominasi impor.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman mengakui, pelemahan rupiah saat ini yang sudah menembus di atas Rp14.400-an dirasakan berat bagi industri.
“Hitungan saya (rupiah) sudah terdepresiasi 8-10% dibandingkan tahun lalu. Budget kita acuannya Rp13.600 sesuai dengan APBN. Ini tentunya bagi industri yang bahan baku impornya cukup banyak, ini cukup berat," ujar Adhi di sela-sela konferensi pers penyelenggaraan Food Ingredient Asia 2018 di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, pelaku usaha makanan minuman juga merasakan dampak lain akibat kenaikan biaya energi yang berpengaruh pada angkutan logistik yang ikut naik. Untuk itu, kata Adhi, industri makanan dan minuman harus melakukan penyesuaian harga.
"Perkiraan saya akan ada beban biaya tambahan sekitar 3-6%, tergantung dari industrinya. Beban tambahan 3-6% ini kalau margin tidak mendukung, otomatis keputusan terakhir harus menaikkan harga," ungkap Adhi.
Dia melanjutkan, pengusaha tidak bisa serta-merta menaikkan harga produk karena butuh waktu sekitar dua bulan sebagai toleransi. Hal ini pun setelah mempertimbangkan jika penjualan akan turun di tengah situasi seperti ini.
Menurut dia, ada beberapa strategi untuk menyiasati kenaikan kurs dan biaya energi. Di antaranya, mengubah ukuran produk dan mengubah bahan bungkus produk. Namun, itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Butuh waktu, harus izin BPOM, packaging, tapi beberapa sudah melakukannya. Itu upaya efisiensi yang dilakukan industri karena kalau menaikkan harga juga berat," tuturnya.
Meski begitu, Adhi yakin pertumbuhan industri makanan dan minuman dapat tumbuh lebih dari 10% pada 2018 karena permintaan yang cukup tinggi. Namun dari sisi margin industri semakin lama semakin berat.
"Omzet kami di periode pertama tahun ini hanya 30%. Sementara pengeluaran kami mencapai 200%. Ini karena banyaknya libur di Juni, kami harus bayar THR untuk karyawan, sementara produktivitas tak mengimbangi," jelasnya.
Menurut Adhi, beberapa industri intermediate seperti industri tepung terigu dan gula sudah menaikkan harga. "Impor gandum sudah naik. Tapi untuk industri yang produk jadi memang marginnya masih lebih longgar. Mereka bilang kalau sudah tidak kuat, harus menaikkan harga," tandasnya.
Upaya Stabilisasi Rupiah Tetap Berjalan
Bank Indonesia (BI) memastikan, akan terus melakukan langkah stabilisasi rupiah, tidak hanya melalui kebijakan suku bunga yang terukur. BI juga akan melakukan intervensi untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valuta asing (valas) maupun rupiah.
"Pelemahan rupiah yang sekarang ini masih terkendali, secara tahun juga terkendali sehingga tidak perlu kepanikan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta Selasa (3/7).
BI memperkirakan, nilai tukar rupiah diperkirakan masih terus berfluktuasi karena dipengaruhi sejumlah faktor di antaranya kebijakan moneter yang dikeluarkan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuan hingga lima kali hingga tahun depan.
Faktor lainnya adalah kebijakan Bank Sentral China (People Bank of China/PBoC) untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM). Kemudian, kebijakan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk menurunkan stimulus berupa pembelian aset-aset portofolio, serta perang dagang antara Amerika Serikat (AS) - China yang membuat ketidakpastian global masih akan tinggi.
“Tahun ini suku bunga acuan The Fed diproyeksi naik empat kali. Sebelumnya sudah dua kali, nanti hingga akhir tahun dua kali lagi. Untuk tahun depan diproyeksi tiga kali lagi. Jadi total akan ada lima kali lagi kenaikan fed rate," tambah Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
Dia menambahkan, akibat sejumlah kebijakan moneter di berbagai negara itu, ke depan tren perekonomian global akan mengarah pada pengetatan likuiditas. Hal ini membat nilai tukar di sejumlah negara termasuk rupiah, terus memburuk akibat penguatan dolar.
Berdasarkan catatan BI, hingga akhir Juni 2018 pelemahan kurs rupiah telah mencapai -5,6% secara year to date (ytd). Adapun terkait dengan pergerakan nilai tukar rupiah, Perry menyebut hal tersebut harus diukur secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, saat ini pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS juga dialami oleh negara-negara di kawasan regional. Secara relatif, sambung dia, pergerakan nilai tukar rupiah masih terkendali. Ke depan, kata dia, BI akan terus menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian perkembangan ekonomi global, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah.
Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai, kenaikan suku bunga acuan hanya merupakan obat sementara atas volatilitas rupiah yang sudah di luar batas, yang dampaknya juga belum tentu efektif menghentikan pelemahan. Oleh karena itu, BI dan Pemerintah tidak boleh lengah.
Selain itu, menurut dia faktor utamanya depresiasi rupiah saat ini sebenarnya adalah faktor fundamental ekonomi yang rentan dari gejolak eksternal. "Salah satu sumber ‘penyakit’ loyonya rupiah adalah defisit transaksi berjalan," ungkap Eko.
Oleh karena itu, harus ada upaya sangat serius dari pemerintah untuk dapat mengakhiri defisit ini. Jika upaya menggenjot ekspor masih sulit dilakukan, maka konsekuensinya adalah sekuat tenaga mengurangi impor dan mensubstitusinya dengan produk domestik.
Di bagian lain, langkah BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 5,25% pada pekan lalu dinilai belum bisa menahan laju pelemahan rupiah secara signifikan. Kemarin, rupiah berada pada posisi Rp14.343 berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menguat dibanding sehari sebelumnya Rp14.418 per dolar AS. (Oktiani Endarwati/Kunthi Fahmar Sandy/Ichsan Amin)
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman mengakui, pelemahan rupiah saat ini yang sudah menembus di atas Rp14.400-an dirasakan berat bagi industri.
“Hitungan saya (rupiah) sudah terdepresiasi 8-10% dibandingkan tahun lalu. Budget kita acuannya Rp13.600 sesuai dengan APBN. Ini tentunya bagi industri yang bahan baku impornya cukup banyak, ini cukup berat," ujar Adhi di sela-sela konferensi pers penyelenggaraan Food Ingredient Asia 2018 di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, pelaku usaha makanan minuman juga merasakan dampak lain akibat kenaikan biaya energi yang berpengaruh pada angkutan logistik yang ikut naik. Untuk itu, kata Adhi, industri makanan dan minuman harus melakukan penyesuaian harga.
"Perkiraan saya akan ada beban biaya tambahan sekitar 3-6%, tergantung dari industrinya. Beban tambahan 3-6% ini kalau margin tidak mendukung, otomatis keputusan terakhir harus menaikkan harga," ungkap Adhi.
Dia melanjutkan, pengusaha tidak bisa serta-merta menaikkan harga produk karena butuh waktu sekitar dua bulan sebagai toleransi. Hal ini pun setelah mempertimbangkan jika penjualan akan turun di tengah situasi seperti ini.
Menurut dia, ada beberapa strategi untuk menyiasati kenaikan kurs dan biaya energi. Di antaranya, mengubah ukuran produk dan mengubah bahan bungkus produk. Namun, itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Butuh waktu, harus izin BPOM, packaging, tapi beberapa sudah melakukannya. Itu upaya efisiensi yang dilakukan industri karena kalau menaikkan harga juga berat," tuturnya.
Meski begitu, Adhi yakin pertumbuhan industri makanan dan minuman dapat tumbuh lebih dari 10% pada 2018 karena permintaan yang cukup tinggi. Namun dari sisi margin industri semakin lama semakin berat.
"Omzet kami di periode pertama tahun ini hanya 30%. Sementara pengeluaran kami mencapai 200%. Ini karena banyaknya libur di Juni, kami harus bayar THR untuk karyawan, sementara produktivitas tak mengimbangi," jelasnya.
Menurut Adhi, beberapa industri intermediate seperti industri tepung terigu dan gula sudah menaikkan harga. "Impor gandum sudah naik. Tapi untuk industri yang produk jadi memang marginnya masih lebih longgar. Mereka bilang kalau sudah tidak kuat, harus menaikkan harga," tandasnya.
Upaya Stabilisasi Rupiah Tetap Berjalan
Bank Indonesia (BI) memastikan, akan terus melakukan langkah stabilisasi rupiah, tidak hanya melalui kebijakan suku bunga yang terukur. BI juga akan melakukan intervensi untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valuta asing (valas) maupun rupiah.
"Pelemahan rupiah yang sekarang ini masih terkendali, secara tahun juga terkendali sehingga tidak perlu kepanikan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta Selasa (3/7).
BI memperkirakan, nilai tukar rupiah diperkirakan masih terus berfluktuasi karena dipengaruhi sejumlah faktor di antaranya kebijakan moneter yang dikeluarkan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuan hingga lima kali hingga tahun depan.
Faktor lainnya adalah kebijakan Bank Sentral China (People Bank of China/PBoC) untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM). Kemudian, kebijakan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk menurunkan stimulus berupa pembelian aset-aset portofolio, serta perang dagang antara Amerika Serikat (AS) - China yang membuat ketidakpastian global masih akan tinggi.
“Tahun ini suku bunga acuan The Fed diproyeksi naik empat kali. Sebelumnya sudah dua kali, nanti hingga akhir tahun dua kali lagi. Untuk tahun depan diproyeksi tiga kali lagi. Jadi total akan ada lima kali lagi kenaikan fed rate," tambah Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
Dia menambahkan, akibat sejumlah kebijakan moneter di berbagai negara itu, ke depan tren perekonomian global akan mengarah pada pengetatan likuiditas. Hal ini membat nilai tukar di sejumlah negara termasuk rupiah, terus memburuk akibat penguatan dolar.
Berdasarkan catatan BI, hingga akhir Juni 2018 pelemahan kurs rupiah telah mencapai -5,6% secara year to date (ytd). Adapun terkait dengan pergerakan nilai tukar rupiah, Perry menyebut hal tersebut harus diukur secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, saat ini pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS juga dialami oleh negara-negara di kawasan regional. Secara relatif, sambung dia, pergerakan nilai tukar rupiah masih terkendali. Ke depan, kata dia, BI akan terus menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian perkembangan ekonomi global, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah.
Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai, kenaikan suku bunga acuan hanya merupakan obat sementara atas volatilitas rupiah yang sudah di luar batas, yang dampaknya juga belum tentu efektif menghentikan pelemahan. Oleh karena itu, BI dan Pemerintah tidak boleh lengah.
Selain itu, menurut dia faktor utamanya depresiasi rupiah saat ini sebenarnya adalah faktor fundamental ekonomi yang rentan dari gejolak eksternal. "Salah satu sumber ‘penyakit’ loyonya rupiah adalah defisit transaksi berjalan," ungkap Eko.
Oleh karena itu, harus ada upaya sangat serius dari pemerintah untuk dapat mengakhiri defisit ini. Jika upaya menggenjot ekspor masih sulit dilakukan, maka konsekuensinya adalah sekuat tenaga mengurangi impor dan mensubstitusinya dengan produk domestik.
Di bagian lain, langkah BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 5,25% pada pekan lalu dinilai belum bisa menahan laju pelemahan rupiah secara signifikan. Kemarin, rupiah berada pada posisi Rp14.343 berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menguat dibanding sehari sebelumnya Rp14.418 per dolar AS. (Oktiani Endarwati/Kunthi Fahmar Sandy/Ichsan Amin)
(nfl)