Sleman Fokus pada Batik Pewarna Alam
A
A
A
YOGYAKARTA - Perkembangan batik di DIY terus berkembang dengan pesat. Indikasinya saat ini hampir setiap desa memiliki sentra industri batik, terutama batik tulis dan cap.
Industri batik itu rata-rata dikelola kelompok masyarakat setempat, ada juga batik rumahan. Selain itu ada batik printing . Bukan itu saja, tiap daerah juga sudah memiliki ikon batik. Motif batiknya diambil dari kekhasan daerah setempat. Satu di antaranya di Sleman yang menetapkan motif daun sinom parijotho dan salak sebagai batik sleman.
Batik sleman pun dikenal dengan nama batik parijotho salak. Sinom parijotho dan salak diambil sebagai motif bukan tan pa alasan. Sebab tumbuhan tersebut, khususnya sinom parijotho, hanya tumbuh di lereng Gunung Merapi, tidak ada di daerah lain.
Pemilihan motif ini dilakukan setelah Sle man mengadakan lomba desain batik sleman pada 2012 lalu. Karena itu mulai 2012 batik parijotho salak tersebut dikenalkan ke masyarakat. Termasuk dijadikan seragam wajib bagi pegawai di lingkungan Pemkab Sleman setiap hari Kamis.
Untuk pengembangannya, Sleman melakukan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat untuk dapat memproduksi sendiri batik khas Sleman. Langkahnya dengan memberikan pelatihan membatik dan kelanjutannya dengan membentuk kelompok untuk memproduksinya.
Tiap kelompok terdiri atas 15-20 orang dan hampir semua desa di Sleman memiliki kelompok batik. Kelompok yang sudah terbentuk itu kemudian membentuk paguyuban industri batik. Industri batik ini tergabung dalam multi-manunggal dengan jumlah anggota tercatat ada 30 kelompok.
“Di Sleman juga ada industri batik mandiri seperti Tiray Art Batik, Nakula Sadewa, Jodag, Sogan, Monera, Batik Afif Syakur, Kusuma Jaya Batik, dan Isfana Batik,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman Tri Endah Yitnani. Industri batik di Sleman terbilang menjanjikan.
Terbukti om zet rata-rata perajin untuk seluruh kelompok batik se be sar Rp70 juta-90 juta. Bahkan untuk kelompok yang sudah besar lebih besar lagi omzetnya. Adapun untuk usaha batik man diri, omzetnya sampai ratusan juta rupiah per bulan. Apalagi yang memproduksi batik tulis untuk konsumen atas.
“Industri batik mandiri ini juga menyerap 5-10 tenaga kerja,” papar Endah—sapaan Tri Endah Yitnani. Endah mengatakan, meski industri batik cukup menggembirkan, bukan berarti pemkab lepas tangan. Mereka terus mendorong agar industri batik tersebut semakin berkembang dan meningkat.
Karenanya pemkab terus memberikan pelatihan dan pendampingan kepada tiap kelompok industri batik. Termasuk ikut memasarkannya, yaitu dengan mengikutkan mereka pada pameranpameran dan lomba-lomba. “Diharapkan dengan langkah ini industri batik terus meningkat dan merangsang inovasi,” sebutnya.
Ketua Dekranasda Sleman Kustini Sri Purnomo me nga takan, pengembangan industri batik ini bukan sekadar ber orientasi pada perdagangan (profit oriented ), tetapi juga tetap menjaga dan memelihara lingkungan. Karena itu da lam pewarnaan batik perajin didorong untuk menggunakan pe warna alami, bukan sintesis.
Mereka juga diarahkan un tuk tidak membuat batik printing , tetapi batik tulis dan cap. “Industri batik dengan pewarna alam ini juga tidak terlepas dari melimpahnya sumber daya alam. Sebab di Sleman tersedia bermacam tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pewarna batik,” jelasnya.
Selain ramah lingkungan, dengan memakai pewarna alam ini, batik juga jadi enak saat dipakai dan dari sisi harga cukup kompetitif. Karena itu untuk pewarna batik difokuskan menggunakan pewarna alam yang bisa diambil dari daun, batang, kulit, buah, dan akar pohon.
Perajin batik sleman Sri Lestari mengatakan, untuk pewarnaan, pihaknya mulai meninggalkan pewarna sintesis dan beralih pada pewarna alami yang bahan-bahannya diambil langsung dari sekitar rumah. (Priyo Setyawan)
Industri batik itu rata-rata dikelola kelompok masyarakat setempat, ada juga batik rumahan. Selain itu ada batik printing . Bukan itu saja, tiap daerah juga sudah memiliki ikon batik. Motif batiknya diambil dari kekhasan daerah setempat. Satu di antaranya di Sleman yang menetapkan motif daun sinom parijotho dan salak sebagai batik sleman.
Batik sleman pun dikenal dengan nama batik parijotho salak. Sinom parijotho dan salak diambil sebagai motif bukan tan pa alasan. Sebab tumbuhan tersebut, khususnya sinom parijotho, hanya tumbuh di lereng Gunung Merapi, tidak ada di daerah lain.
Pemilihan motif ini dilakukan setelah Sle man mengadakan lomba desain batik sleman pada 2012 lalu. Karena itu mulai 2012 batik parijotho salak tersebut dikenalkan ke masyarakat. Termasuk dijadikan seragam wajib bagi pegawai di lingkungan Pemkab Sleman setiap hari Kamis.
Untuk pengembangannya, Sleman melakukan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat untuk dapat memproduksi sendiri batik khas Sleman. Langkahnya dengan memberikan pelatihan membatik dan kelanjutannya dengan membentuk kelompok untuk memproduksinya.
Tiap kelompok terdiri atas 15-20 orang dan hampir semua desa di Sleman memiliki kelompok batik. Kelompok yang sudah terbentuk itu kemudian membentuk paguyuban industri batik. Industri batik ini tergabung dalam multi-manunggal dengan jumlah anggota tercatat ada 30 kelompok.
“Di Sleman juga ada industri batik mandiri seperti Tiray Art Batik, Nakula Sadewa, Jodag, Sogan, Monera, Batik Afif Syakur, Kusuma Jaya Batik, dan Isfana Batik,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman Tri Endah Yitnani. Industri batik di Sleman terbilang menjanjikan.
Terbukti om zet rata-rata perajin untuk seluruh kelompok batik se be sar Rp70 juta-90 juta. Bahkan untuk kelompok yang sudah besar lebih besar lagi omzetnya. Adapun untuk usaha batik man diri, omzetnya sampai ratusan juta rupiah per bulan. Apalagi yang memproduksi batik tulis untuk konsumen atas.
“Industri batik mandiri ini juga menyerap 5-10 tenaga kerja,” papar Endah—sapaan Tri Endah Yitnani. Endah mengatakan, meski industri batik cukup menggembirkan, bukan berarti pemkab lepas tangan. Mereka terus mendorong agar industri batik tersebut semakin berkembang dan meningkat.
Karenanya pemkab terus memberikan pelatihan dan pendampingan kepada tiap kelompok industri batik. Termasuk ikut memasarkannya, yaitu dengan mengikutkan mereka pada pameranpameran dan lomba-lomba. “Diharapkan dengan langkah ini industri batik terus meningkat dan merangsang inovasi,” sebutnya.
Ketua Dekranasda Sleman Kustini Sri Purnomo me nga takan, pengembangan industri batik ini bukan sekadar ber orientasi pada perdagangan (profit oriented ), tetapi juga tetap menjaga dan memelihara lingkungan. Karena itu da lam pewarnaan batik perajin didorong untuk menggunakan pe warna alami, bukan sintesis.
Mereka juga diarahkan un tuk tidak membuat batik printing , tetapi batik tulis dan cap. “Industri batik dengan pewarna alam ini juga tidak terlepas dari melimpahnya sumber daya alam. Sebab di Sleman tersedia bermacam tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pewarna batik,” jelasnya.
Selain ramah lingkungan, dengan memakai pewarna alam ini, batik juga jadi enak saat dipakai dan dari sisi harga cukup kompetitif. Karena itu untuk pewarna batik difokuskan menggunakan pewarna alam yang bisa diambil dari daun, batang, kulit, buah, dan akar pohon.
Perajin batik sleman Sri Lestari mengatakan, untuk pewarnaan, pihaknya mulai meninggalkan pewarna sintesis dan beralih pada pewarna alami yang bahan-bahannya diambil langsung dari sekitar rumah. (Priyo Setyawan)
(nfl)