BPS: Angka Kemiskinan Turun Jika Kebiasaan Merokok Dihilangkan
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, angka kemiskinan di Indonesia bisa turun jika kebiasaan merokok di masyarakat dapat dihilangkan.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pihaknya terus memperhatikan pola pendapatan yang ada di masyarakat, khususnya kelas bawah yang banyak dihabiskan untuk rokok.
"BPS memotret apa saja tentang pengeluaran penduduk miskin. Di sana ada kebiasaan merokok yang parah yang menyita banyak pendapatannya," ujarnya di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Suhariyanto menjelaskan, kalau saja komponen rokok tersebut dikeluarkan dari pendapatan masyarakat maka garis kemiskinan akan turun.
"Garis kemiskinan turun, jumlah penduduk miskin turun. Ke depan, kita berupaya tekan (jumlah) perokok karena tak hanya berpengaruh ke penduduk miskin, tapi juga yang tidak miskin," katanya.
Menurutnya, cukai rokok naik tidak ada pengaruhnya di masyarakat Indonesia, sehingga yang paling efektif dilakukan pemerintah yaitu dengan terus mensosialisasikan dampak dari bahaya merokok.
"Jika harga rokok Rp70.000 per bungkus kemungkinan banyak perokok berhenti, tapi itu kalau di Amerika Serikat atau Australia, iya. Di Indonesia banyak inovasi, cukai mahal, rokok mahal ya bisa linting sendiri. Karena itu, kenaikan harga enggak cukup, tapi sosialisasi dini bahaya rokok yang harus dilakukan," tutur dia.
Sementara, Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto menambahkan, tercatat dari faktanya, jumlah masyarakat miskin bisa berkurang jika tidak merokok karena dampaknya makin laten hingga menyasar anak-anak.
"Bertambah parah sekarang, tak hanya orang dewasa tapi anak-anak merokok dengan jumlah besar. Kita harus mengurangi dengan sosialisasi dan naikkan cukai. Cukai naik penting supaya kebutuhan rokok di garis kemiskinan semakin sedikit, sehingga semakin tidak dicatat di BPS," pungkasnya.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pihaknya terus memperhatikan pola pendapatan yang ada di masyarakat, khususnya kelas bawah yang banyak dihabiskan untuk rokok.
"BPS memotret apa saja tentang pengeluaran penduduk miskin. Di sana ada kebiasaan merokok yang parah yang menyita banyak pendapatannya," ujarnya di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Suhariyanto menjelaskan, kalau saja komponen rokok tersebut dikeluarkan dari pendapatan masyarakat maka garis kemiskinan akan turun.
"Garis kemiskinan turun, jumlah penduduk miskin turun. Ke depan, kita berupaya tekan (jumlah) perokok karena tak hanya berpengaruh ke penduduk miskin, tapi juga yang tidak miskin," katanya.
Menurutnya, cukai rokok naik tidak ada pengaruhnya di masyarakat Indonesia, sehingga yang paling efektif dilakukan pemerintah yaitu dengan terus mensosialisasikan dampak dari bahaya merokok.
"Jika harga rokok Rp70.000 per bungkus kemungkinan banyak perokok berhenti, tapi itu kalau di Amerika Serikat atau Australia, iya. Di Indonesia banyak inovasi, cukai mahal, rokok mahal ya bisa linting sendiri. Karena itu, kenaikan harga enggak cukup, tapi sosialisasi dini bahaya rokok yang harus dilakukan," tutur dia.
Sementara, Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto menambahkan, tercatat dari faktanya, jumlah masyarakat miskin bisa berkurang jika tidak merokok karena dampaknya makin laten hingga menyasar anak-anak.
"Bertambah parah sekarang, tak hanya orang dewasa tapi anak-anak merokok dengan jumlah besar. Kita harus mengurangi dengan sosialisasi dan naikkan cukai. Cukai naik penting supaya kebutuhan rokok di garis kemiskinan semakin sedikit, sehingga semakin tidak dicatat di BPS," pungkasnya.
(ven)