Industri Susu Butuh Perpres, Aturan Harus Akomodir Harga Layak
A
A
A
JAKARTA - Persoalan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) diyakini perlu diatur melalui regulasi yang lebih tinggi yaitu Peraturan Presiden (Perpres). Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito menekankan, hal terpenting yang perlu diatur dalam wacana Perpres soal persusuan nasional adalah soal harga yang layak di tingkat peternak.
"Penentuan harga dasar susu di tingkat peternak jadi yang paling urgent saat ini. Jika memang ada usulan tentu kami sangat senang bisa didorong hingga Perpresnya keluar," kata Agus melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Saat ini, harga di tingkat peternak masih berkisar di angka Rp5.700 per liter untuk susu dengan kualitas terbaik. Padahal angka tersebut tidak bisa menutup harga pokok produksi yang dikeluarkan oleh peternak.
Lebih lanjut Ia menerangkan, peternak berharap basis penentuan harga diukur dari harga pokok produksi yang dikeluarkan. "Saat ini, peternak tidak punya pilihan, mau berapapun harga yang diberikan akan dijual. Regulasi yang kuat seperti Perpres diperlukan untuk mengatur soal harga ini," sambung Agus.
Akademisi dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf juga melihat takaran penentuan harga susu di Indonesia saat ini sudah ketinggalan zaman. "Di Indonesia masih menerapkan skema Total Plate Count (TPC) untuk penentuan kualitas susu," kata Rochadi.
Skema TPC yang menghitung kandungan mikroba dalam susu, berpotensi terus berubah selama proses distribusi dari peternak ke koperasi atau industri. "Jika ada perubahan dalam proses distribusi, yang menanggung saat ini adalah peternak. Ini kan kondisi yang memberatkan dan harga di tingkat peternak sulit naik," kata Rochadi yang juga anggota Dewan Persusuan Nasional (DPN).
Ia juga mengusulkan agar pengukuran kualitas susu menggunakan skema yang lebih fair yakni Somatic Cell Count (SCC). Skema ini lebih umum diterapkan di negara-negara produsen susu yang peternaknya lebih maju.
Sebelum reformasi, urusan persusuan nasional sempat diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 tentang Persusuan Nasional. Aturan ini membuat kondisi persusuan nasional cukup kondusif bagi peternak karena adanya wajib serap terhadap SSDN.
Namun, aturan tersebut dicabut melalui Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF) saat Indonesia dilanda krisis tahun 1998. Sejak saat itu, belum ada regulasi yang kuat untuk mengatur persoalan persusuan nasional yang saat ini kondisinya menyulitkan peternak sapi perah lokal.
"Penentuan harga dasar susu di tingkat peternak jadi yang paling urgent saat ini. Jika memang ada usulan tentu kami sangat senang bisa didorong hingga Perpresnya keluar," kata Agus melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Saat ini, harga di tingkat peternak masih berkisar di angka Rp5.700 per liter untuk susu dengan kualitas terbaik. Padahal angka tersebut tidak bisa menutup harga pokok produksi yang dikeluarkan oleh peternak.
Lebih lanjut Ia menerangkan, peternak berharap basis penentuan harga diukur dari harga pokok produksi yang dikeluarkan. "Saat ini, peternak tidak punya pilihan, mau berapapun harga yang diberikan akan dijual. Regulasi yang kuat seperti Perpres diperlukan untuk mengatur soal harga ini," sambung Agus.
Akademisi dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf juga melihat takaran penentuan harga susu di Indonesia saat ini sudah ketinggalan zaman. "Di Indonesia masih menerapkan skema Total Plate Count (TPC) untuk penentuan kualitas susu," kata Rochadi.
Skema TPC yang menghitung kandungan mikroba dalam susu, berpotensi terus berubah selama proses distribusi dari peternak ke koperasi atau industri. "Jika ada perubahan dalam proses distribusi, yang menanggung saat ini adalah peternak. Ini kan kondisi yang memberatkan dan harga di tingkat peternak sulit naik," kata Rochadi yang juga anggota Dewan Persusuan Nasional (DPN).
Ia juga mengusulkan agar pengukuran kualitas susu menggunakan skema yang lebih fair yakni Somatic Cell Count (SCC). Skema ini lebih umum diterapkan di negara-negara produsen susu yang peternaknya lebih maju.
Sebelum reformasi, urusan persusuan nasional sempat diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 tentang Persusuan Nasional. Aturan ini membuat kondisi persusuan nasional cukup kondusif bagi peternak karena adanya wajib serap terhadap SSDN.
Namun, aturan tersebut dicabut melalui Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF) saat Indonesia dilanda krisis tahun 1998. Sejak saat itu, belum ada regulasi yang kuat untuk mengatur persoalan persusuan nasional yang saat ini kondisinya menyulitkan peternak sapi perah lokal.
(akr)