Kemenperin Kembangkan Arang Bambu Jadi Komponen Baterai
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu unit pelayanan teknisnya, baik itu Balai Besar maupun Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri untuk semakin aktif melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan agar menghasilkan inovasi yang dibutuhkan pelaku industri. Salah satunya riset dari Baristand Industri Banjarbaru yang mampu menjadikan arang bambu sebagai komponen baterai.
"Jadi, arang bambu sebagai pengganti grafit pada komponen baterai. Bambu yang digunakan adalah bambu betung yang merupakan potensi alam yang ada di Kalimantan Selatan," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Menurut Ngakan, selama ini komponen baterai kering yang umum digunakan berasal dari bahan grafit. Sementara grafit merupakan mineral tambang alam yang bersifat tidak dapat diperbaharui. "Potensi tambang grafit di Indonesia terdapat di Pulau Sumatra dengan sisa produksi tambang sekitar 2 juta ton atau dengan luasan area 30 hektare," ungkapnya.
Maka itu, untuk mengurangi konsumsi karbon yang bersumber dari mineral alam, perlu dicari bahan baku yang bersifat lestari, seperti bambu. "Bambu sebagai tanaman yang dapat dibudidayakan memiliki waktu tanam sekitar 4-5 tahun. Selain itu, bambu memiliki komponen lignoselulosa tinggi sehingga kadar karbon dan oksigen melebihi 90% dari berat keseluruhan, ujar Ngakan.
Arang bambu dibuat melalui metode pirolisis, yaitu bambu dikarbonisasi pada suhu
500-600 derajat Celcius dengan menggunakan peralatan khusus. Selanjutnya arang yang dihasilkan diaktivasi memakai bahan kimia asam dan basa serta diberikan tambahan logam untuk menaikkan kapasitas listriknya. Logam yang digunakan adalah logam seng (Zn) dan nikel (Ni).
"Kemudian dibuat partikel nano menggunakan high energy mechanic (HEM) berbasis Ball Mill. Karbon yang dihasilkan diuji struktur dan sifatnya menggunakan Pressure Swing Adsorption (PSA), Scanning Electron Microscopy(SEM), X-ray diffraction (XRD), dan konduktivitas," jelasnya.
Ngakan meyakini, arang bambu akan mempunyai nilai atau kapasitas listrik yang lebih optimal apabila dapat dibentuk partikel ukuran nano. Pada tahap ini, masih dilakukan pengembangan lanjutan. "Daya Hantar Listrik (DHL) paling tinggi diperoleh pada arang bambu betung dengan aktivator KOH dan di-dopping oleh logam Zn dengan nilai DHL 7,02 mS/cm," imbuhnya.
Potensi pengembangan bahan baku baterai ini seiring pula dengan tingginya penggunaan smartphone atau gadget lain. Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika, konsumen smartphone di Indonesia pada 2018 akan melampaui 100 juta orang atau menjadi negara pengguna aktif ponsel pintar terbesar ke empat di dunia.
"Digitalisasi teknologi menjadi ciri dari masuknya sebuah negara ke era digital, termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat besar dengan total penduduk hingga 267 juta orang. Untuk itu, kita perlu menjadi tuan di negeri sendiri dengan menggunakan produk dan komponen lokal," papar Ngakan.
"Jadi, arang bambu sebagai pengganti grafit pada komponen baterai. Bambu yang digunakan adalah bambu betung yang merupakan potensi alam yang ada di Kalimantan Selatan," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Menurut Ngakan, selama ini komponen baterai kering yang umum digunakan berasal dari bahan grafit. Sementara grafit merupakan mineral tambang alam yang bersifat tidak dapat diperbaharui. "Potensi tambang grafit di Indonesia terdapat di Pulau Sumatra dengan sisa produksi tambang sekitar 2 juta ton atau dengan luasan area 30 hektare," ungkapnya.
Maka itu, untuk mengurangi konsumsi karbon yang bersumber dari mineral alam, perlu dicari bahan baku yang bersifat lestari, seperti bambu. "Bambu sebagai tanaman yang dapat dibudidayakan memiliki waktu tanam sekitar 4-5 tahun. Selain itu, bambu memiliki komponen lignoselulosa tinggi sehingga kadar karbon dan oksigen melebihi 90% dari berat keseluruhan, ujar Ngakan.
Arang bambu dibuat melalui metode pirolisis, yaitu bambu dikarbonisasi pada suhu
500-600 derajat Celcius dengan menggunakan peralatan khusus. Selanjutnya arang yang dihasilkan diaktivasi memakai bahan kimia asam dan basa serta diberikan tambahan logam untuk menaikkan kapasitas listriknya. Logam yang digunakan adalah logam seng (Zn) dan nikel (Ni).
"Kemudian dibuat partikel nano menggunakan high energy mechanic (HEM) berbasis Ball Mill. Karbon yang dihasilkan diuji struktur dan sifatnya menggunakan Pressure Swing Adsorption (PSA), Scanning Electron Microscopy(SEM), X-ray diffraction (XRD), dan konduktivitas," jelasnya.
Ngakan meyakini, arang bambu akan mempunyai nilai atau kapasitas listrik yang lebih optimal apabila dapat dibentuk partikel ukuran nano. Pada tahap ini, masih dilakukan pengembangan lanjutan. "Daya Hantar Listrik (DHL) paling tinggi diperoleh pada arang bambu betung dengan aktivator KOH dan di-dopping oleh logam Zn dengan nilai DHL 7,02 mS/cm," imbuhnya.
Potensi pengembangan bahan baku baterai ini seiring pula dengan tingginya penggunaan smartphone atau gadget lain. Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika, konsumen smartphone di Indonesia pada 2018 akan melampaui 100 juta orang atau menjadi negara pengguna aktif ponsel pintar terbesar ke empat di dunia.
"Digitalisasi teknologi menjadi ciri dari masuknya sebuah negara ke era digital, termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat besar dengan total penduduk hingga 267 juta orang. Untuk itu, kita perlu menjadi tuan di negeri sendiri dengan menggunakan produk dan komponen lokal," papar Ngakan.
(ven)