Ekspor Kelapa Sawit Bisa Jadi Penyelamat Defisit Neraca Dagang
A
A
A
BELITUNG - Pemerintah harus mendorong industri sawit agar dapat terus meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Ekspor minyak sawit diyakini akan menyelamatkan neraca perdagangan dari ancaman defisit yang membengkak.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, Indonesia membutuhkan industri yang mampu menghasilkan devisa yang tinggi, namun secara bersamaan juga bisa menyerap tenaga kerja yang besar. "Kita perlu memperkuat peranan industri yang bisa menutup defisit neraca perdagangan ini. Di sinilah pentingnya industri kelapa sawit," ujarnya di Belitung, Jumat (24/8/2018).
Joko melanjutkan, industri kelapa sawit harus didorong untuk terus menerus melakukan kegiatan ekspor. Pada tahun 2017, ekspor minyak sawit menyumbang devisa sekitar USD22,9 miliar dan menyerap tenaga kerja mencapai 17 juta orang. "Dalam jangka pendek, industri ini bisa mengurangi beban perekonomian," ungkapnya.
Meski begitu, pengembangan industri kelapa sawit tidak bisa terlepas dari konteks perdagangan global. Menurut Joko, industri sawit menghadapi tantangan laten berupa maraknya kampanye negatif dari negara-negara maju (Uni Eropa dan Amerika). "Sangat disayangkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang percaya bahwa kampanye negatif sawit itu sebagai fakta. Oleh karena itu, kita harus mengedukasi masyarakat tentang kelapa sawit yang benar," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengatakan, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa. Menurut dia, kekhawatiran terbesar dari negara-negara Eropa adalah Indonesia akan menjadi negara adidaya karena mampu memproduksi energi terbarukan melalui sawit.
"Mereka (negara-negara Barat) sangat memahami, sawit merupakan industi masa depan sebagai pengganti energi fosil yang tidak ramah lingkungan dan mulai ditinggalkan. Faktanya bisa dilihat bahwa saat ini perkebunan sawit Indonesia memenuhi peran tersebut dan punya kontribusi besar terhadap kebijakan energi global di masa depan," jelasnya.
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI Eddy Martono mengatakan, industri kelapa sawit telah terbukti sebagai penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, selayaknya industri kelapa sawit dilindungi oleh kebijakan yang memberikan kepastian hukum. "Masih ada kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah dalam hal Tata Ruang, demikian juga perlu dillihat dengan jernih kebijakan-kebijakan mana yang justru mengkerdilkan industri sawit sebaiknya direvisi atau dihapus," ujarnya.
Menurut Eddy, ketidakjelasan terkait tumpang tindih lahan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas menjadi faktor penghalang bagi pertumbuhan iklim investasi Indonesia.
Dia mengusulkan, dalam revisi UU 41, sebaiknya penetapan kawasan hutan cukup dipertegas dengan menjadi menjadi hutan primer, sekunder dan hutan produksi sehingga tidak menimbulkan banyak konflik seperti yang saat ini terjadi. "Faktanya, banyak kawasan hutan yang justru “menabrak” HGU, karena penetapan aturannya diberlakukan belakangan," jelasnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, Indonesia membutuhkan industri yang mampu menghasilkan devisa yang tinggi, namun secara bersamaan juga bisa menyerap tenaga kerja yang besar. "Kita perlu memperkuat peranan industri yang bisa menutup defisit neraca perdagangan ini. Di sinilah pentingnya industri kelapa sawit," ujarnya di Belitung, Jumat (24/8/2018).
Joko melanjutkan, industri kelapa sawit harus didorong untuk terus menerus melakukan kegiatan ekspor. Pada tahun 2017, ekspor minyak sawit menyumbang devisa sekitar USD22,9 miliar dan menyerap tenaga kerja mencapai 17 juta orang. "Dalam jangka pendek, industri ini bisa mengurangi beban perekonomian," ungkapnya.
Meski begitu, pengembangan industri kelapa sawit tidak bisa terlepas dari konteks perdagangan global. Menurut Joko, industri sawit menghadapi tantangan laten berupa maraknya kampanye negatif dari negara-negara maju (Uni Eropa dan Amerika). "Sangat disayangkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang percaya bahwa kampanye negatif sawit itu sebagai fakta. Oleh karena itu, kita harus mengedukasi masyarakat tentang kelapa sawit yang benar," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengatakan, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa. Menurut dia, kekhawatiran terbesar dari negara-negara Eropa adalah Indonesia akan menjadi negara adidaya karena mampu memproduksi energi terbarukan melalui sawit.
"Mereka (negara-negara Barat) sangat memahami, sawit merupakan industi masa depan sebagai pengganti energi fosil yang tidak ramah lingkungan dan mulai ditinggalkan. Faktanya bisa dilihat bahwa saat ini perkebunan sawit Indonesia memenuhi peran tersebut dan punya kontribusi besar terhadap kebijakan energi global di masa depan," jelasnya.
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI Eddy Martono mengatakan, industri kelapa sawit telah terbukti sebagai penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, selayaknya industri kelapa sawit dilindungi oleh kebijakan yang memberikan kepastian hukum. "Masih ada kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah dalam hal Tata Ruang, demikian juga perlu dillihat dengan jernih kebijakan-kebijakan mana yang justru mengkerdilkan industri sawit sebaiknya direvisi atau dihapus," ujarnya.
Menurut Eddy, ketidakjelasan terkait tumpang tindih lahan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas menjadi faktor penghalang bagi pertumbuhan iklim investasi Indonesia.
Dia mengusulkan, dalam revisi UU 41, sebaiknya penetapan kawasan hutan cukup dipertegas dengan menjadi menjadi hutan primer, sekunder dan hutan produksi sehingga tidak menimbulkan banyak konflik seperti yang saat ini terjadi. "Faktanya, banyak kawasan hutan yang justru “menabrak” HGU, karena penetapan aturannya diberlakukan belakangan," jelasnya.
(akr)