Perang Dagang, AS-China Sama-Sama Merasa di Atas Angin
A
A
A
SINGAPURA - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China diyakini akan semakin memanas. Pasalnya, kedua belah pihak sama-sama merasa berada di atas angin dalam konflik tersebut.
Dengan pemikirasn demikian, para pakar ekonomi menilai kebuntuan dalam penyelesaian konfil dagang AS dan China akan terus berlanjut. Baik AS maupun China dinilai belum cukup "merasa sakit" untuk mundur.
"Saya pikir kita berada dalam periode yang berkepanjangan dari ketegangan yang terus meningkat," kata Deborah Elms, direktur eksekutif di Asian Trade Center, yang berbasis di Singapura seperti dikutip CNBC.com, Senin (27/8/2018).
Elms mendasarkan komentarnya setelah AS dan China saling mengenakan tarif baru satu sama lain Kamis (23/8) lalu. Sementara, pertemuan dua hari untuk menyelesaikan masalah perdagangan antara kedua negara berakhir tanpa terobosan besar. Menurut Elms, situasinya akan memburuk dalam beberapa bulan ke depan seiring pemilihan paruh waktu AS.
Para pengamat pasar kini terus memantau rencana pengenaan tarif berikutnya oleh AS untuk barang impor asal China senilai USD200 miliar yang diperkirakan diterapkan akhir tahun ini.
Terkait dengan langkah AS tersebut, para analis menyadari bahwa China tidak mengimpor cukup barang dari AS untuk dapat menyamai tindakan Washington dalam basis dolar per dolar. Karena itu, ketika AS terus meningkatkan jumlah barang yang dikenai tarif impor tambahan, maka China diperkirakan bakal melakukan pembalasan dalam bentuk lain.
"Jika China tidak dapat menyamai tindakan AS, mereka akan melakukan sesuatu yang lain. Kemungkinannya itu akan berupa pembalasan terhadap perusahaan AS yang ada di China. Seperti apa mekanisme (pembalasannya) kita masih harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi, tetapi pasti akan terjadi sesuatu," cetusnya.
Perusahaan AS yang beroperasi di China, imbuh dia, harus bersiap untuk menghadapi pengawasan yang lebih ketat dari otoritas negara tersebut.
Sementara, beberapa orang menilai China akan menjadikan nilai tukar mata uangnya sebagai senjata non-tarif dalam perang dagang tersebut. Dengan melemahkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS, kenaikan tarif akan menjadi kurang efektif karena importir dapat mengompensasi tarif dengan harga barang yang lebih murah.
Namun, Jumat (24/8) lalu Bank Rakyat China menghentikan spekulasi itu ketika mengumumkan perubahan kebijakan yuan yang tampaknya adalah menjaga nilai tukar mata uang itu tetap stabil.
Dengan pemikirasn demikian, para pakar ekonomi menilai kebuntuan dalam penyelesaian konfil dagang AS dan China akan terus berlanjut. Baik AS maupun China dinilai belum cukup "merasa sakit" untuk mundur.
"Saya pikir kita berada dalam periode yang berkepanjangan dari ketegangan yang terus meningkat," kata Deborah Elms, direktur eksekutif di Asian Trade Center, yang berbasis di Singapura seperti dikutip CNBC.com, Senin (27/8/2018).
Elms mendasarkan komentarnya setelah AS dan China saling mengenakan tarif baru satu sama lain Kamis (23/8) lalu. Sementara, pertemuan dua hari untuk menyelesaikan masalah perdagangan antara kedua negara berakhir tanpa terobosan besar. Menurut Elms, situasinya akan memburuk dalam beberapa bulan ke depan seiring pemilihan paruh waktu AS.
Para pengamat pasar kini terus memantau rencana pengenaan tarif berikutnya oleh AS untuk barang impor asal China senilai USD200 miliar yang diperkirakan diterapkan akhir tahun ini.
Terkait dengan langkah AS tersebut, para analis menyadari bahwa China tidak mengimpor cukup barang dari AS untuk dapat menyamai tindakan Washington dalam basis dolar per dolar. Karena itu, ketika AS terus meningkatkan jumlah barang yang dikenai tarif impor tambahan, maka China diperkirakan bakal melakukan pembalasan dalam bentuk lain.
"Jika China tidak dapat menyamai tindakan AS, mereka akan melakukan sesuatu yang lain. Kemungkinannya itu akan berupa pembalasan terhadap perusahaan AS yang ada di China. Seperti apa mekanisme (pembalasannya) kita masih harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi, tetapi pasti akan terjadi sesuatu," cetusnya.
Perusahaan AS yang beroperasi di China, imbuh dia, harus bersiap untuk menghadapi pengawasan yang lebih ketat dari otoritas negara tersebut.
Sementara, beberapa orang menilai China akan menjadikan nilai tukar mata uangnya sebagai senjata non-tarif dalam perang dagang tersebut. Dengan melemahkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS, kenaikan tarif akan menjadi kurang efektif karena importir dapat mengompensasi tarif dengan harga barang yang lebih murah.
Namun, Jumat (24/8) lalu Bank Rakyat China menghentikan spekulasi itu ketika mengumumkan perubahan kebijakan yuan yang tampaknya adalah menjaga nilai tukar mata uang itu tetap stabil.
(fjo)