Energi Terbarukan Berbasis Hutan Butuh Dukungan Pendanaan

Rabu, 29 Agustus 2018 - 23:10 WIB
Energi Terbarukan Berbasis...
Energi Terbarukan Berbasis Hutan Butuh Dukungan Pendanaan
A A A
JAKARTA - Tanaman hutan Indonesia memiliki potensi besar untuk dijadikan energi terbarukan untuk menyokong pengendalian perubahan iklim. Namun pengembangan energi terbarukan berbasis hutan butuh dukungan pembiayaan, salah satunya bersumber dari pasar karbon.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Justianto mengatakan bioenergi berbasis hutan di Indonesia sangat potensial. Tanaman hutan bisa dimanfaatkan kayunya sebagai biomassa atau biji tanamannya untuk menghasilkan minyak nabati.

Tanaman penghasil biomassa antara lain akor, kaliandra, lamtoro dan turi. Sementara tanaman penghasil minyak nabati diantaranya nyamplung, arendan kemiri sunan. "Tanaman hutan sebagai energi menyerap dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari energi berbasis fosil," ujar Agus saat diskusi Pojok Iklim di kantor KLHK, Jakarta, Rabu (29/8/2018).

Saat ini, kata dia, telah ada penanaman 89.860 hektare tanaman energi di 10 unit izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara 23 unit HTI sudah siap untuk menanam seluas 87.600 hektare. Khusus untuk tanaman nyamplung, terdapat potensi lahan seluas 480.000 hektare yang bisa menghasilkan 4,8 juta ton dan bisa menghasilkan 2,1 juta liter biodisel.

Agus menyatakan jika program pencampuran bahan bakar nabati sebanyak 10% (B10) sukses diimplementasikan, maka akan ada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 5,1 juta ton setara C02. Sementara dengan B20 pengurangan emisi GRK bisa mencapai 9,4 juta ton setara CO2.

Di tempat yang sama, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Pasar Surat Berharga Syariah Negara, Kementerian Keuangan, Dwi Iriati Hadiningdyah menjelaskan Green Sukuk bisa menjadi salah satu sumber pendanaan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim. "Indonesia adalah negara penerbit Green Sukuk pertama di dunia," katanya.

Dia menjelaskan, Sukuk sudah menjadi salah satu sumber pembiayaan APBN. Pada periode 2008-2018, total penerbitan Sukuk mencapai Rp925,2 triliun dengan outstanding per Agustus 2018 sebesar Rp634,2 triliun.

Green Sukuk diterbitkan pertama kali pada Maret 2018 senilai USD1,25 miliar. "Dana dari Green Sukuk dimanfaatkan untuk proyek-proyek hijau di 5 sektor, termasuk untuk pengembangan energi terbarukan," katanya.

Adapun Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau Dicky Edwin Hindarto mengatakan, pasar karbon bisa menjadi alternatif untuk mendapat pembiayaan dalam upaya pengendalian iklim.

Sekadar diketahui, dari 169 negara yang telah mendaftarkan dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (NDC) kepada konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), sebanyak 103 negara menyatakan akan menggunakan mekanisme berbasis pasar untuk mencapai target penurunan emisinya.

"Ini merupakan indikasi bahwa mekanisme pasar adalah salah satu mekanisme yang paling cost effective dan diminati dibanding konvensional," katanya.

Indonesia punya cukup pengalaman dalam implementasi pasar karbon. Di antaranya adalah 202 proyek dengan skema clean development mechanism (CDM), 14 proyek dengan skema voluntary carbon standard (VCS) dan 34 proyek dengan skema joint credit mechanism (JCM) Indonesia-Jepang.

Sementara itu, economic expert untuk Partnership for Market Readiness Artissa Panjaitan memaparkan, biaya berbagai aksi mitigasi di sektor pembangkit listrik dan industri. Menurut dia, umumnya aksi mitigasi perubahan iklim jangka panjang lebih murah dari pada menerapkan teknologi biasa yang emisi GRK-nya tinggi.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8610 seconds (0.1#10.140)