HT: Rupiah Perlu Penanganan yang Cepat dan Tepat

Kamis, 06 September 2018 - 22:19 WIB
HT: Rupiah Perlu Penanganan yang Cepat dan Tepat
HT: Rupiah Perlu Penanganan yang Cepat dan Tepat
A A A
JAKARTA - Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) memberikan pemikiran dan masukan untuk mengatasi krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Caranya dengan memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia, karena krisis rupiah saat ini sudah masuk ke faktor psikologis.

Kondisi ini membuat pelaku pasar nervous terhadap perekonomian kita, sehingga berdampak terhadap nilai tukar mata uang NKRI. Karena itu, kata HT, diperlukan strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah dalam memperbaiki fundamental perekonomian.

HT menyampaikan, untuk jangka pendek, para eksportir wajib menukar devisa hasil ekspor ke rupiah sesuai konten lokal produksi mereka. Pemerintah perlu membuat aturan baku terkait hal ini agar segera dilakukan. "Harus ada regulasi. Kalau imbauan tidak bisa," ujarnya saat menjadi pembicara di iNews Sore, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Dalam jangka pendek, pemerintah juga bisa membuat tim khusus untuk mengundang investasi dari luar negeri. Mereka melakukan roadshow ke beberapa negara untuk meyakinkan investor menanamkan modal ke Indonesia.

Sementara jangka menengah, HT mengatakan, pemerintah perlu mendorong ekspor melalui berbagai insentif. Caranya bisa dari sisi pajak maupun perizinan yang mudah. "Bisa dengan memberi investasi untuk industri berorientasi ekspor. Sehingga bisa mendorong ekspor. Ini bisa menghasilkan devisa," tambahnya.

Dan menurut Hary Tanoesoedibjo, untuk menangani nilai tukar rupiah yang sedang gonjang-ganjing ini diperlukan penanganan yang cepat dan tepat. Berikut petikan wawancara Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo dengan iNews:

Strategi dan input apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki perekonomian, terutama rupiah yang sedang terpuruk?
Kita harus memilah masalahnya. Nilai tukar rupiah yang gonjang ganjing sekarang ini membuat pasar nervous. Agar nilai tukar lebih baik ada dua hal yang harus diperbaiki: fundamental dan psikologis.

Sekarang sudah masuk psikologis karena pasar nervous. Karena belum ada strategi konkret untuk memperbaiki nilai tukar. Jadi harus ada penanganan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Jangan pendek, kita harus mewajibkan, jangan hanya mengimbau. Mewajibkan semua eksportir mengkonversi dolar AS yang mereka punya ke rupiah sejumlah prosentase daripada konten lokal produk mereka. Kalau ekspor, 60% itu konten lokal dan 40% itu impor. Dan 60% hasil ekspor dari konten lokal itu harus dikonversi ke rupiah. Itu mandatory (wajib). Toh uang itu juga untuk dibelikan bahan baku dalam bentuk rupiah. Jadi tidak merugikan mereka. Kita harus bikin regulasi tersebut, harus berani.

Jangka pendek kedua, mendorong investasi portofolio. Kita bentuk tim khusus yang memahami dunia usaha, ekonomi dan industri. Kita roadshow ke pusat-pusat keuangan dan bisnis seperti Singapura, Hong Kong, Seoul, Tokyo, London, Timur Tengah, Eropa, New York dan China agar mereka mau melakukan investasi portofolio ke Indonesia. Kita harus menyajikan ke mereka secara komprehensif.

Jangan menengah, kita harus menaikkan devisa dengan menguatkan ekspor. Caranya berikan insentif bagi industri yang berorientasi ekspor, permudah perizinan, beri insentif pajak dan dunia usaha untuk industri berorientasi ekspor.

Kemudian foreign direct investment (investasi langsung asing) dengan menciptakan zona ekonomi khusus. Saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, itu yang terkena kenaikan tarif bukan hanya perusahan China. Di sana (China) ada perusahaan Taiwan dan Jepang. Itu harus kita approach agar ke Indonesia supaya bisa menciptakan lapangan kerja. Jangan lupa, kita memasuki bonus demografi. Bahaya kita kalau tidak ada lapangan kerja.

Dan sektor pariwisata. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) kita 14 juta per tahun, nomor enam di Asia Tenggara. Dan 85% wisman ada di Bali, Jakarta dan Batam. Artinya tempat yang lain masih belum tergarap baik.

Nomor satu wisman di Asia Tenggara adalah Thailand 37 juta wisman, Malaysia 27 juta, Filipina 21 juta, Singapura 17 juta dan Vietnam sedikit di atas kita. Dan wisman itu menghabiskan rata-rata USD1.000 per hari.

Bila kita dapat penambahan 23 juta wisman seperti Thailand, kita bisa dapat tambahan USD23 miliar atau setara Rp300 triliun setiap tahun. Itu sifatnya recurring income alias pendapatan berulang karena setiap tahun. Tax amnesty dapat Rp130 triliun tapi sekali. Untuk meningkatkan wisman, kita harus bangun infrastruktur dan promosi yang baik agar mereka datang.

Terakhir jangka panjang. Ekonomi Indonesia rapuh karena kesenjangannya tinggi. Masyarakat yang produktif sedikit, yang belum produktif banyak. Artinya mesin pembangunan kita itu sedikit. Jadi perlu mempersempit kesenjangan, tetapi bukan yang kelas atas diturunkan ke bawah. Melainkan yang bawah cepat naik kelas jadi produktif. Dan itu bisa dilakukan dengan kebijakan dan keberpihakan.

Seperti apa keberpihakannya?
Keberpihakan itu macam-macam. Akses dana murah, pendampingan dan pelatihan. Karena sekitar 87% penduduk kita lulusan SMA ke bawah. Dari jumlah tersebut sekitar 40% lulusan SD. Meski dikasih uang atau pinjaman dengan bunga rendah atau tanpa bunga belum tentu bisa kerja juga, mohon maaf. Makanya harus dibuat usaha dengan didampingi, dilatih dan diproteksi. Jangan dimasuki oleh yang besar apalagi yang asing.

Jadi setiap tahun bisa naik kelas, jadi mesin produksi pembangunan. Dan mesin ini bisa semakin banyak. Mereka akhirnya ikut menciptakan lapangan kerja dan jadi pembayar pajak. Itulah yang dilakukan oleh China. Sehingga sekarang mereka bisa besar.

30 tahun lalu, India dan China berangkat dari titik yang sama. Masih miskin. India menerapkan demokrasi dan pasar bebas. Hukum ekonomi free market alias pasar bebas ialah yang kuat makin kuat dan yang lemah makin lemah. Sehingga 30 tahun kemudian, India masih seperti sekarang. Lebih miskin dari kita secara pendapatan per kapita.

China tahu mayoritas masyarakatnya saat itu masih miskin makanya harus ada keberpihakan. Istilahnya ekonomi kerakyatan, apapun namanya, tapi kita tidak perlu berdebat di sana. Sehingga pertumbuhan ekonominya bisa naik antara 9%-11%, menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Tujuh kali lipat dari India, padahal berangkatnya bareng. Diperkirakan 10 tahun lagi mereka bisa melampaui Amerika Serikat dari sisi PDB-nya.

Terkait keseimbangan antara pro bisnis dan pro rakyat…
Keduanya harus jalan. Supaya orang bisa investasi, tercipta lapangan kerja dan devisa bisa naik. Tapi kita harus menciptakan kelompok-kelompok baru setiap tahun dan itu mutlak.

Mengenai keterpurukan rupiah, ada yang mengatakan ini karena faktor eksternal seperti krisis lira Turki dan peso Argentina?
Memang ada unsur luar negeri juga. Tapi seperti yang saya katakan ada faktor fundamental dan faktor psikologis. Tapi kalau kita ekonominya kuat, penanganannya cepat dan tepat, kita tidak akan seperti sekarang. Yakinlah itu.

Sekarang banyak orang menunggu. Pasti naik lagi, saya simpan dulu dolarnya. Ini psikologis. Jadi bagaimana kita harus mampu menenangkan dan meyakinkan mereka. Kita harus mampu mengatakan dan menyampaikan strategi yang komprehensif bahwa kita paham mengatasi ini dengan baik.

Mengenai tim approach ini apa dibentuk oleh pemerintah?
Ya jelas lah, kalau tidak, kita tidak punya kapasitas mewakili pemerintah dan mengundang investasi portofolio masuk ke Indonesia.

Cadangan devisa (cadev) kita cuma USD118 miliar. Kalau kita intervensi rupiah terus bisa habis (cadev). Apalagi ekspor sedang turun. Memang impor sekarang mulai dibatasi, itu bagus tapi sifatnya temporer. Nah yang lebih penting bagaimana meningkatkan produksi.

Jadi kita perlu penanganan yang tepat dan cepat. Cepat kalau tidak tepat ya keliru. Tepat kalau lambat mengambil keputusan, masyarakat makin panik. Bursa Rabu ini turun sampai lebih 200 poin, itu terpuruk dalam.

Ada yang membandingkan krisis rupiah sekarang sama dengan tahun 1998?
Tidak. Kalau tahun 1998 itu overshoot. Kursnya dari Rp2.400 lompat tinggi. Itu juga karena politis dan sebagainya. Lalu rupiah masuk ke arah stabilize, karena sesuatu apapun juga masuk ke ekuibilirium. Hukum pasar seperti itu.

Terkait dengan utang yang membebani rupiah?
Saya suka melihat di televisi dan membaca di media massa, mengatakan utang kita masih 30% dari PDB, lalu membandingkan dengan negara lain yang sudah 100% dari PDB. Itu tidak apple to apple membandingkannya. Utang kita itu kebanyakan ke luar negeri. Jepang itu, utang terbesarnya ke masyarakatnya dalam bentuk yen. Menjual surat utang ke rakyatnya. Kalau kita utangnya ke luar negeri, jadi saat nilai dolar tinggi, rupiah kita ya terpuruk. Intinya kita perlu penanganan yang cepat dan tepat.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8294 seconds (0.1#10.140)