Rupiah Memang Melemah Tapi Indikator Ekonomi Masih Kokoh
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini memang berada dalam tren menurun. Hanya saja, kondisi ini berbeda dengan 20 tahun silam dan banyak pihak menilai tidak akan mencapai titik krisis seperti tahun 1998.
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP), Denni Puspa Purbasari mengatakan, hal ini disebabkan pemerintah yang tidak panik melainkan mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.
"Indonesia memiliki pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya. Karena itu percayalah, pemerintah dapat melakukan aksi pencegahan agar kita tidak jatuh dalam krisis. Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti bahwa pada saat ini cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998," kata Denni di Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Hal positif lain menurut Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing mencapai USD4,5 miliar ke Indonesia.
"Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga solid serta peringkat surat utang pemerintah tidak masalah. Sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi," ungkapnya.
Tidak kalah penting adalah independensi Bank Indonesia. "Ini beda dengan intervensi yang dilakukan Pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral ingin menaikkan suku bunga, misalnya," kata Denni.
Denni menegaskan, pemerintah tidak bersikap santai menghadapi situasi ini. "Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan," urainya.
Juga tak kalah penting menurut Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan dan Australia.
"Kita punya bilateral soft arrangement. Jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada USD118 milar," jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado, Amerika Serikat, itu.
Denni memaparkan, pemerintah menahan harga BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat, termasuk dengan meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi premium oleh Pertamina.
Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar AS, Denni mengingatkan, sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP.
"Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri khususnya transportasi barang dan jasa," paparnya.
Terkait daya dukung masyarakat, Denni masih melihatnya sebagai hal yang positif. Dapat dilihat bahwa konsumsi sudah tumbuh di atas 5%. Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula beberapa indikator lainnya.
"Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan seperti itu, ekonomi kita bisa jatuh," kata akademisi yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerja Sama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Boediono.
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP), Denni Puspa Purbasari mengatakan, hal ini disebabkan pemerintah yang tidak panik melainkan mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.
"Indonesia memiliki pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya. Karena itu percayalah, pemerintah dapat melakukan aksi pencegahan agar kita tidak jatuh dalam krisis. Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti bahwa pada saat ini cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998," kata Denni di Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Hal positif lain menurut Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing mencapai USD4,5 miliar ke Indonesia.
"Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga solid serta peringkat surat utang pemerintah tidak masalah. Sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi," ungkapnya.
Tidak kalah penting adalah independensi Bank Indonesia. "Ini beda dengan intervensi yang dilakukan Pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral ingin menaikkan suku bunga, misalnya," kata Denni.
Denni menegaskan, pemerintah tidak bersikap santai menghadapi situasi ini. "Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan," urainya.
Juga tak kalah penting menurut Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan dan Australia.
"Kita punya bilateral soft arrangement. Jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada USD118 milar," jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado, Amerika Serikat, itu.
Denni memaparkan, pemerintah menahan harga BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat, termasuk dengan meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi premium oleh Pertamina.
Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar AS, Denni mengingatkan, sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP.
"Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri khususnya transportasi barang dan jasa," paparnya.
Terkait daya dukung masyarakat, Denni masih melihatnya sebagai hal yang positif. Dapat dilihat bahwa konsumsi sudah tumbuh di atas 5%. Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula beberapa indikator lainnya.
"Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan seperti itu, ekonomi kita bisa jatuh," kata akademisi yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerja Sama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Boediono.
(ven)