Aktivis Lingkungan Sayangkan Mega Proyek PLTA Tampur di Kawasan Ekosistem
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah aktivis dan pakar lingkungan menyayangkan pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur di Kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues dan Aceh Timur, Provinsi Aceh, karena lokasinya berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Keberadaan proyek tersebut dinilai akan merusak habitat gajah Sumatra, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang.
Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) Riswan Zein menyampaikan, mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
"Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatra, koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal. Hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan," katanya di Jakarta, Sabtu (8/9/2018).
Selain dampak ekologis, Riswan menambahkan beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA.
"Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 Ha dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun, sudah bisa dipastikan 50% desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut," ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatra. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.
"Tercatat secara historis telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan, semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir, kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan yang terjadi di Laos pada bulan Juli 2018 lalu terjadi juga di Indonesia," ujar Riswan.
Tidak hanya merusak dan berpotensi menimbulkan bencana, rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. M. Fahmi, Tim Legal Yayasan HAkA mengungkapkan bahwa izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan, dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak 5 hektare.
Sedangkan proyek ini sudah dipastikan menggunakan kawasan hutan lebih dari lima hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat non komersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
Keberadaan proyek tersebut dinilai akan merusak habitat gajah Sumatra, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang.
Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) Riswan Zein menyampaikan, mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
"Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatra, koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal. Hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan," katanya di Jakarta, Sabtu (8/9/2018).
Selain dampak ekologis, Riswan menambahkan beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA.
"Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 Ha dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun, sudah bisa dipastikan 50% desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut," ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatra. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.
"Tercatat secara historis telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan, semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir, kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan yang terjadi di Laos pada bulan Juli 2018 lalu terjadi juga di Indonesia," ujar Riswan.
Tidak hanya merusak dan berpotensi menimbulkan bencana, rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. M. Fahmi, Tim Legal Yayasan HAkA mengungkapkan bahwa izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan, dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak 5 hektare.
Sedangkan proyek ini sudah dipastikan menggunakan kawasan hutan lebih dari lima hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat non komersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
(ven)