PT MCT Minta Perlindungan Hukum Soal Kepastian Investasinya di Batam
A
A
A
JAKARTA - Setelah berjalan hampir tiga tahun, kasus dugaan penggelapan dana di PT West Point Terminal (WPT) oleh tiga pejabat Sinopec, China, tidak kunjung tuntas. PT MCT, pemegang saham minoritas di WPT meminta perlindungan hukum Kabareskrim Polri terkait kepastian investasinya di Batam, Kepulauan Riau.
PT Mas Capital Trust (MCT) Batam, menyampaikan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kabareskrim Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto. Langkah ini dilakukan MCT setelah laporan pidana di perusahaan investasinya yaitu PT WPT tak kunjung tuntas ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
Dalam kasus yang telah berjalan tiga tahun sejak tahun 2015 ini, polisi telah menetapkan tiga warga negara China perwakilan dari Sinopec Group sebagai tersangka dugaan penggelapan dana PT WPT. Namun, akibat berlarutnya kasus pidana ini, proyek pembangunan depo minyak di Batam senilai USD840 juta yang sudah groundbreaking pada tahun 2012 sampai saat ini belum dibangun.
"Kami mendukung dan sangat sependapat dengan orientasi program Bapak Kabareskrim, yang intinya bahwa selama mereka (pelaku usaha) berbuat benar, Polri akan menjaga mereka. Polri juga berkomitmen untuk tidak akan melakukan hal-hal yang tidak baik. Masyarakat sekarang mengharapkan satu proses hukum yang betul-betul berkeadilan," ungkap Neshawaty Arsyad, kuasa hukum PT MCT, di Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Neshawaty menjelaskan, Polda Kepri telah menetapkan tiga orang direksi yaitu Zhang Jun, Ye Zhijun dan Feng Zigang sebagai tersangka sejak tahun 2015. Ketika kasus ini dipindahkan ke Bareskrim Mabes Polri, pada bulan Februari 2017 Polri telah meminta Interpol untuk menetapkan ketiganya sebagai DPO dan status red notice.
Permintaan itupun diterima oleh kantor pusat Interpol di Lyon, Prancis dan ketiganya langsung mendapat status buron interpol pada 28 Februari 2017.
Tiba-tiba, Neshawaty menambahkan, pada 31 Maret 2017 kliennya menerima email mengenai Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3) No S.Tap/07/III/2017/Ditreskrimum yang menyatakan bahwa kasus ini dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti. SP3 itu kemudian digunakan oleh para tersangka warga China untuk melepaskan diri dari status red notice.
Namun, hasil telaah Divisi Hukum Mabes Polri menyatakan bahwa SP3 31 Maret 2017 tidak benar dan tidak tercatat dalam administrasi Polri. Sehingga status ketiga pejabat Sinopec itu sebagai DPO dan Red Notice masih berlaku sah.
Pada 6 Februari 2018 PT MCT kembali menerima SP3 No 245.a/II/2018/Dittipidum mengenai kasus tiga tersangka pejabat Sinopec. Penyidikan dihentikan dengan alasan bukan merupakan tindak pidana. Atas keputusan SP3 6 Februari yang dikeluarkan Mabes Polri tersebut, pihak MCT kemudian mengajukan permohonan Pra Peradilan. Hasilnya, pada 27 Maret 2018 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan SP3 no 245 tersebut.
Hakim tunggal Kartim Haeruddin dalam putusannya menyatakan bahwa SP3 No 245 tanggal 6 Februari 2018 itu tidak memenuhi prosedur yang berlaku. Dimana polisi dalam memutuskan SP3 tidak pernah menghadirkan pelapor dan terlapor saat gelar perkara kasus tersebut. Polri juga tidak menghadirkan penyidik yang sudah ditunjuk untuk menangani kasus tersebut.
Dalam putusannya, hakim Kartim menyatakan bahwa Polri harus melanjutkan kasus pidana tiga pejabat Sinopec itu. Penyidik juga diperintahkan untuk menetapkan kembali ketiganya dengan status DPO dan Red Notice. Dalam waktu 14 hari kerja sejak putusan Pra Peradilan Penyidik diminta segera menyerahkan berkas kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Kepri.
Atas putusan Pra Peradilan itu, kuasa hukum pelapor meminta penanganan kasus ini dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus). Pemindahan penanganan kasus ke Tipideksus dinilai tepat mengingat dalam kasus ini para tersangka diduga telah melakukan sejumlah transaksi perbankan yang merugikan perusahaan.
Misalnya, para tersangka melakukan transfer dana milik perusahaan ke sejumlah rekening di luar negeri dan memasukkan kembali ke rekening di Indonesia. Namun, dana yang diduga digelapkan senilai USD1,5 juta. Sementara sekitar USD1,2 juta modal usaha PT WPT juga raib.
PT MCT merupakan pengusaha nasional, pemegang saham PT WPT, sebuah joint venture dengan anak usaha Sinopec Group yaitu Sinomart KTS Development Limited.
"Kami berharap kepada Kabareskrim agar penanganan kasus di PT WPT dapat menjadi prioritas, sehingga ada kepastian hukum atas investasi yang telah dikeluarkan PT MCT selama 6 tahun ini. Sebagai pengusaha lokal di Batam, kasus ini membuat posisi kami sangat berat," imbuh Neshawaty.
PT Mas Capital Trust (MCT) Batam, menyampaikan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kabareskrim Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto. Langkah ini dilakukan MCT setelah laporan pidana di perusahaan investasinya yaitu PT WPT tak kunjung tuntas ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
Dalam kasus yang telah berjalan tiga tahun sejak tahun 2015 ini, polisi telah menetapkan tiga warga negara China perwakilan dari Sinopec Group sebagai tersangka dugaan penggelapan dana PT WPT. Namun, akibat berlarutnya kasus pidana ini, proyek pembangunan depo minyak di Batam senilai USD840 juta yang sudah groundbreaking pada tahun 2012 sampai saat ini belum dibangun.
"Kami mendukung dan sangat sependapat dengan orientasi program Bapak Kabareskrim, yang intinya bahwa selama mereka (pelaku usaha) berbuat benar, Polri akan menjaga mereka. Polri juga berkomitmen untuk tidak akan melakukan hal-hal yang tidak baik. Masyarakat sekarang mengharapkan satu proses hukum yang betul-betul berkeadilan," ungkap Neshawaty Arsyad, kuasa hukum PT MCT, di Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Neshawaty menjelaskan, Polda Kepri telah menetapkan tiga orang direksi yaitu Zhang Jun, Ye Zhijun dan Feng Zigang sebagai tersangka sejak tahun 2015. Ketika kasus ini dipindahkan ke Bareskrim Mabes Polri, pada bulan Februari 2017 Polri telah meminta Interpol untuk menetapkan ketiganya sebagai DPO dan status red notice.
Permintaan itupun diterima oleh kantor pusat Interpol di Lyon, Prancis dan ketiganya langsung mendapat status buron interpol pada 28 Februari 2017.
Tiba-tiba, Neshawaty menambahkan, pada 31 Maret 2017 kliennya menerima email mengenai Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3) No S.Tap/07/III/2017/Ditreskrimum yang menyatakan bahwa kasus ini dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti. SP3 itu kemudian digunakan oleh para tersangka warga China untuk melepaskan diri dari status red notice.
Namun, hasil telaah Divisi Hukum Mabes Polri menyatakan bahwa SP3 31 Maret 2017 tidak benar dan tidak tercatat dalam administrasi Polri. Sehingga status ketiga pejabat Sinopec itu sebagai DPO dan Red Notice masih berlaku sah.
Pada 6 Februari 2018 PT MCT kembali menerima SP3 No 245.a/II/2018/Dittipidum mengenai kasus tiga tersangka pejabat Sinopec. Penyidikan dihentikan dengan alasan bukan merupakan tindak pidana. Atas keputusan SP3 6 Februari yang dikeluarkan Mabes Polri tersebut, pihak MCT kemudian mengajukan permohonan Pra Peradilan. Hasilnya, pada 27 Maret 2018 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan SP3 no 245 tersebut.
Hakim tunggal Kartim Haeruddin dalam putusannya menyatakan bahwa SP3 No 245 tanggal 6 Februari 2018 itu tidak memenuhi prosedur yang berlaku. Dimana polisi dalam memutuskan SP3 tidak pernah menghadirkan pelapor dan terlapor saat gelar perkara kasus tersebut. Polri juga tidak menghadirkan penyidik yang sudah ditunjuk untuk menangani kasus tersebut.
Dalam putusannya, hakim Kartim menyatakan bahwa Polri harus melanjutkan kasus pidana tiga pejabat Sinopec itu. Penyidik juga diperintahkan untuk menetapkan kembali ketiganya dengan status DPO dan Red Notice. Dalam waktu 14 hari kerja sejak putusan Pra Peradilan Penyidik diminta segera menyerahkan berkas kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Kepri.
Atas putusan Pra Peradilan itu, kuasa hukum pelapor meminta penanganan kasus ini dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus). Pemindahan penanganan kasus ke Tipideksus dinilai tepat mengingat dalam kasus ini para tersangka diduga telah melakukan sejumlah transaksi perbankan yang merugikan perusahaan.
Misalnya, para tersangka melakukan transfer dana milik perusahaan ke sejumlah rekening di luar negeri dan memasukkan kembali ke rekening di Indonesia. Namun, dana yang diduga digelapkan senilai USD1,5 juta. Sementara sekitar USD1,2 juta modal usaha PT WPT juga raib.
PT MCT merupakan pengusaha nasional, pemegang saham PT WPT, sebuah joint venture dengan anak usaha Sinopec Group yaitu Sinomart KTS Development Limited.
"Kami berharap kepada Kabareskrim agar penanganan kasus di PT WPT dapat menjadi prioritas, sehingga ada kepastian hukum atas investasi yang telah dikeluarkan PT MCT selama 6 tahun ini. Sebagai pengusaha lokal di Batam, kasus ini membuat posisi kami sangat berat," imbuh Neshawaty.
(ven)