APEI Minta Pemerintah dan DPR Terbitkan UU Subsidi BBM
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk membuat undang-undang (UU) yang membahas masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sebab, jika hanya menggunakan kebijakan pemerintah berjalan, masalah subsidi BBM akan selalu menimbulkan kegaduhan.
"DPR dan pemerintah harus membuat UU tentang subsidi agar keadilan terjaga. Sehingga tidak ada lagi ketimpangan," ujar Anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) Sofyano Zakaria di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Dia mengungkapkan, selama ini subsidi BBM membuat masyarakat bisa membeli BBM dengan harga terjangkau. Namun, di sisi lain, membebani keuangan PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang ditugaskan untuk menyalurkan BBM bersubsidi.
"Rakyat bahagia dengan premium dan subsidi, tapi penugasannya membebani Pertamina. Ini karena tidak ada landasan undang-undangnya," tuturnya. Pemerintah, kata dia, harus merumuskan formula dan batasan yang tegas, BBM subsidi untuk siapa dan mekanisme penyalurannya juga jelas dan terkontrol.
"Selama ini penggunaan solar subsidi untuk pengusaha angkutan khususnya yang tarif angkutannya tidak diatur oleh pemerintah bisa dinilai publik melanggar rasa keadilan," jelasnya.
Pengamat energi Mamit Setiawan menilai, kebijakan harga premium dan solar selama ini memberikan beban besar kepada Pertamina. Penugasan yang diberikan kepada Pertamina, lanjut dia, membuat pengembangan bisnis Pertamina terhambat.
"Kebijakan tidak menaikkan BBM dan listrik sangat populis. Tapi beban BUMN akan sangat besar. Makanya subsidi harus kepada orang, bukan barang," paparnya.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, sektor energi nasional banyak mendapat masalah. Dampaknya sangat terasa di dua bulan terakhir adalah turunnya nilai tukar rupiah, kebutuhan dolar AS tinggi karena adanya neraca berjalan. Sementara nilai ekspor kalah dari impor. "Impor minyak dan BBM tidak bisa dielakkan karena kilang di dalam ngeri tidak mampu memproduksi lebih besar," cetusnya.
Hal inilah, lanjut dia, yang membuat defisit neraca perdagangan semakin besar. Ditambah lagi pengembangan BBM alternatif juga tidak berkembang. Misalnya pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya 10%. "Kebutuhan BBM naik tidak dibarengi dengan penggunaan alternatif lain," sambungnya.
Menurut Marwan, kebijakan Biodiesel (B20) merupakan langkah jitu untuk mengurangi impor. Diperkirakan penghematannya akan mencapai USD3,5 miliar dalam tiga tahun kedepan. "Kita ingin ini konsisten, jangan hanya ini untuk menolong industri CPO yang harganya sekarang lagi turun," tegasnya.
Krisis energi, kata dia, akan terus terjadi kalau tidak diatasi secara komprehensif dan kebijakan tidak obyektif dan rasional. "Sebanyak 70% subsidi dinikmati orang mampu. Kami berharap kedepan hal ini jangan jadi sikap kebijakan energi kita. Harus tepat sasaran, penikmat subsidi seharusnya hanya 10%-20% masyarakat," katanya.
"DPR dan pemerintah harus membuat UU tentang subsidi agar keadilan terjaga. Sehingga tidak ada lagi ketimpangan," ujar Anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) Sofyano Zakaria di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Dia mengungkapkan, selama ini subsidi BBM membuat masyarakat bisa membeli BBM dengan harga terjangkau. Namun, di sisi lain, membebani keuangan PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang ditugaskan untuk menyalurkan BBM bersubsidi.
"Rakyat bahagia dengan premium dan subsidi, tapi penugasannya membebani Pertamina. Ini karena tidak ada landasan undang-undangnya," tuturnya. Pemerintah, kata dia, harus merumuskan formula dan batasan yang tegas, BBM subsidi untuk siapa dan mekanisme penyalurannya juga jelas dan terkontrol.
"Selama ini penggunaan solar subsidi untuk pengusaha angkutan khususnya yang tarif angkutannya tidak diatur oleh pemerintah bisa dinilai publik melanggar rasa keadilan," jelasnya.
Pengamat energi Mamit Setiawan menilai, kebijakan harga premium dan solar selama ini memberikan beban besar kepada Pertamina. Penugasan yang diberikan kepada Pertamina, lanjut dia, membuat pengembangan bisnis Pertamina terhambat.
"Kebijakan tidak menaikkan BBM dan listrik sangat populis. Tapi beban BUMN akan sangat besar. Makanya subsidi harus kepada orang, bukan barang," paparnya.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, sektor energi nasional banyak mendapat masalah. Dampaknya sangat terasa di dua bulan terakhir adalah turunnya nilai tukar rupiah, kebutuhan dolar AS tinggi karena adanya neraca berjalan. Sementara nilai ekspor kalah dari impor. "Impor minyak dan BBM tidak bisa dielakkan karena kilang di dalam ngeri tidak mampu memproduksi lebih besar," cetusnya.
Hal inilah, lanjut dia, yang membuat defisit neraca perdagangan semakin besar. Ditambah lagi pengembangan BBM alternatif juga tidak berkembang. Misalnya pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya 10%. "Kebutuhan BBM naik tidak dibarengi dengan penggunaan alternatif lain," sambungnya.
Menurut Marwan, kebijakan Biodiesel (B20) merupakan langkah jitu untuk mengurangi impor. Diperkirakan penghematannya akan mencapai USD3,5 miliar dalam tiga tahun kedepan. "Kita ingin ini konsisten, jangan hanya ini untuk menolong industri CPO yang harganya sekarang lagi turun," tegasnya.
Krisis energi, kata dia, akan terus terjadi kalau tidak diatasi secara komprehensif dan kebijakan tidak obyektif dan rasional. "Sebanyak 70% subsidi dinikmati orang mampu. Kami berharap kedepan hal ini jangan jadi sikap kebijakan energi kita. Harus tepat sasaran, penikmat subsidi seharusnya hanya 10%-20% masyarakat," katanya.
(ven)