Kementan Pastikan Produksi Jagung Nasional Surplus
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan bahwa produksi jagung nasional 2018 surplus sehingga Indonesia mampu melakukan ekspor ke Filipina dan Malaysia. Kelebihan produksi tersebut diperoleh setelah menghitung perkiraan produksi 2018 dikurangi dengan proyeksi kebutuhan jagung nasional.
Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa pakan ternak yang naik belakangan ini diakibatkan oleh melesetnya data produksi.
Berdasarkan hitungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49% per tahun. Hal ini juga didukung oleh data luas panen per tahun yang rata-rata meningkat 11,06% dan produktivitas rata-rata meningkat yang 1,42% (ARAM I, BPS 2018).
Tahun ini produksi jagung diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK). Sementara dari sisi kebutuhan, berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK, terdiri dari pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, untuk benih 120.000 ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
"Artinya kita masih surplus sebesar 12,98 juta ton PK, dan bahkan Indonesia telah ekspor jagung ke Filipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton," jelas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo Gatot Irianto dalam keterangan tertulis, Kamis (27/9/2018).
Gatot juga menyatakan bahwa, secara umum produksi jagung nasional saat ini sangat baik. Di wilayah Indonesia Barat panen terjadi pada Januari-Maret, mencakup 37% dari produksi nasional. Sedang ke wilayah Indonesia Timur, panen cenderung mulai bulan April-Mei.
Sentra produksi jagung tersebar di 10 provinsi yakni Jatim, Jateng, Sulsel, Lampung, Sumut, NTB Jabar, Gorontalo, Sulut, Sumbar dengan total produksi mencapai 24,24 juta ton PK. "Artinya 83,8% produksi jagung berada di provinsi sentra tersebut berjalan dengan baik," kata Gatot.
Gatot tak menampik bahwa pada pada musim-musim tertentu harga jagung bisa saja meningkat, tapi bukan berarti produksi dan pasokan jagung bermasalah. Dia mengatakan, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi, seperti konsumen untuk jagung ini yang relatif berfokus pada lokasi tertentu saja seperti Medan, Banten, Jabar, Jateng, Surabaya, Sulsel, dan merata sepanjang tahun.
Terkait harga jagung untuk pakan ternak, Gatot menjelaskan bahwa bahwa kebutuhan jagung untuk pabrik pakan saat ini sebesar 50% dari total kebutuhan nasional sehingga sensitif terhadap gejolak. Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah.
Tahun 2018 pemerintah bertekad memenuhi kebutuhan jagung sepenuhnya dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung sama sekali. Untuk mencapai target tersebut, Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.
Gatot juga menerangkan bahwa persoalan lain yang perlu diselesaikan adalah menyederhanakan rantai pasok. Menurutnya, alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri.
Menurutnya, upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belum berfungsi optimal sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional. Berdasarkan laporan laporan lapangan misalnya, gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal tersebut ada di Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung.
"Seharusnya, ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi," pungkas Gatot.
Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa pakan ternak yang naik belakangan ini diakibatkan oleh melesetnya data produksi.
Berdasarkan hitungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49% per tahun. Hal ini juga didukung oleh data luas panen per tahun yang rata-rata meningkat 11,06% dan produktivitas rata-rata meningkat yang 1,42% (ARAM I, BPS 2018).
Tahun ini produksi jagung diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK). Sementara dari sisi kebutuhan, berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK, terdiri dari pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, untuk benih 120.000 ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
"Artinya kita masih surplus sebesar 12,98 juta ton PK, dan bahkan Indonesia telah ekspor jagung ke Filipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton," jelas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo Gatot Irianto dalam keterangan tertulis, Kamis (27/9/2018).
Gatot juga menyatakan bahwa, secara umum produksi jagung nasional saat ini sangat baik. Di wilayah Indonesia Barat panen terjadi pada Januari-Maret, mencakup 37% dari produksi nasional. Sedang ke wilayah Indonesia Timur, panen cenderung mulai bulan April-Mei.
Sentra produksi jagung tersebar di 10 provinsi yakni Jatim, Jateng, Sulsel, Lampung, Sumut, NTB Jabar, Gorontalo, Sulut, Sumbar dengan total produksi mencapai 24,24 juta ton PK. "Artinya 83,8% produksi jagung berada di provinsi sentra tersebut berjalan dengan baik," kata Gatot.
Gatot tak menampik bahwa pada pada musim-musim tertentu harga jagung bisa saja meningkat, tapi bukan berarti produksi dan pasokan jagung bermasalah. Dia mengatakan, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi, seperti konsumen untuk jagung ini yang relatif berfokus pada lokasi tertentu saja seperti Medan, Banten, Jabar, Jateng, Surabaya, Sulsel, dan merata sepanjang tahun.
Terkait harga jagung untuk pakan ternak, Gatot menjelaskan bahwa bahwa kebutuhan jagung untuk pabrik pakan saat ini sebesar 50% dari total kebutuhan nasional sehingga sensitif terhadap gejolak. Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah.
Tahun 2018 pemerintah bertekad memenuhi kebutuhan jagung sepenuhnya dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung sama sekali. Untuk mencapai target tersebut, Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.
Gatot juga menerangkan bahwa persoalan lain yang perlu diselesaikan adalah menyederhanakan rantai pasok. Menurutnya, alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri.
Menurutnya, upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belum berfungsi optimal sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional. Berdasarkan laporan laporan lapangan misalnya, gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal tersebut ada di Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung.
"Seharusnya, ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi," pungkas Gatot.
(fjo)