Dolar Perkasa, Waspadai Pelemahan Daya Beli Masyarakat
A
A
A
BANDUNG - Pemerintah diminta mewaspadai melemahnya daya beli masyarakat akibat menguatnya dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah. Terlebih bila penguatan dolar diikuti kenaikan suku bunga perbankan.
Ekonom Universitas Padjadjaran (Unpad) Aldrin Herwani mengatakan, menguatnya dolar dikhawatirkan diikuti opsi melakukan penyesuaian suku bunga. Tujuannya untuk menarik dana masyarakat. Namun, bila kebijakan itu diambil, dapat berimbas pada sektor riil.
"Para pelaku usaha juga akan melakukan penyesuaian harga jual produk, bila suku bunga kredit naik. Imbasnya, buying power masyarakat akan melemah. Itu membuat masyarakat mengubah, menunda, atau mengurangi rencana serta anggaran belanjanya," kata Aldrin, Minggu (7/10/2018).
Melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan banyak barang tertumpuk. Industri-industri pun terancam keberlangsungannya karena berkurangnya income hasil penjualan produk.
Pemerintah, lanjut dia, mesti mencari atau melakukan kajian untuk menghindari opsi kenaikan suku bunga sehingga dampak penguatan dolar tak berimbas ke sejumlah sektor di Indonesia.
Aldrin menjelaskan, kondisi saat ini masih lebih baik dibanding 1998. Meski rupiah terdepresiasi, namun indikator perekonomian nasional masih positif. Kondisi ini, lanjutnya, berbeda dengan 1998 yang saat itu, ekonomi nasional goyang karena berbagai faktor.
"Memang benar bahwa rupiah terdepresiasi. Namun, jika perbandingannya dengan kondisi 1998, saat ini masih lebih baik," tandas dia.
Aldrin berpendapat, posisi rupiah di atas level Rp15.150 per USD sebenarnya dalam proses mencari titik equilibrium baru. Artinya, jelas Aldrin, dalam proses mencari titik keseimbangan baru nilai kurs.
"Saya kira, pemerintah terus melakukan dan meracik berbagai langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah," tutup Aldrin.
Ekonom Universitas Padjadjaran (Unpad) Aldrin Herwani mengatakan, menguatnya dolar dikhawatirkan diikuti opsi melakukan penyesuaian suku bunga. Tujuannya untuk menarik dana masyarakat. Namun, bila kebijakan itu diambil, dapat berimbas pada sektor riil.
"Para pelaku usaha juga akan melakukan penyesuaian harga jual produk, bila suku bunga kredit naik. Imbasnya, buying power masyarakat akan melemah. Itu membuat masyarakat mengubah, menunda, atau mengurangi rencana serta anggaran belanjanya," kata Aldrin, Minggu (7/10/2018).
Melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan banyak barang tertumpuk. Industri-industri pun terancam keberlangsungannya karena berkurangnya income hasil penjualan produk.
Pemerintah, lanjut dia, mesti mencari atau melakukan kajian untuk menghindari opsi kenaikan suku bunga sehingga dampak penguatan dolar tak berimbas ke sejumlah sektor di Indonesia.
Aldrin menjelaskan, kondisi saat ini masih lebih baik dibanding 1998. Meski rupiah terdepresiasi, namun indikator perekonomian nasional masih positif. Kondisi ini, lanjutnya, berbeda dengan 1998 yang saat itu, ekonomi nasional goyang karena berbagai faktor.
"Memang benar bahwa rupiah terdepresiasi. Namun, jika perbandingannya dengan kondisi 1998, saat ini masih lebih baik," tandas dia.
Aldrin berpendapat, posisi rupiah di atas level Rp15.150 per USD sebenarnya dalam proses mencari titik equilibrium baru. Artinya, jelas Aldrin, dalam proses mencari titik keseimbangan baru nilai kurs.
"Saya kira, pemerintah terus melakukan dan meracik berbagai langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah," tutup Aldrin.
(fjo)