Pengembangan Industri Fashion Muslim Indonesia Masih Tertinggal
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jendral Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyebutkan, kegiatan penelitian dan pengembangan terkait fashion muslim Indonesia belum menjadi prioritas.
Hal ini yang menyebabkan Indonesia berada di luar 10 besar negara yang melakukan pengembangan fashion muslim dengan baik menurut State of The Global Islamic Economic 2017-2018.
Dari beberapa negara, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara dengan pengembangan fashion muslim termaju yang diikuti Turki dan Italia. Singapura dan Prancis turut masuk dalam posisi keempat dan kelima.
"Mereka bukan negara dominan muslim tapi bisa maju. Penyebabnya, kerja mereka bagus dengan produktivitas yang tinggi," tutur Gati ketika ditemui di Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Roadmap Pengemangan IKM Fashion Muslim di Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Gati menambahkan, kondisi tersebut disayangkan mengingat konsumsi fashion muslim di Indonesia yang tinggi, yakni mencapai USD13,5 miliar. Total tersebut merupakan 5% dari konsumsi fashion muslim dunia yang menyentuh angka USD254 miliar. Pencapaian tersebut membuat Indonesia menjadi lima besar konsumen fashion muslim dunia setelah Turki, UEA, Nigeria dan Arab Saudi.
Gati berharap adanya keterlibatan institusi lain terkait penelitian dan pengembangan ini. Apalagi, teknologi saat ini sudah berkembang dan pelaku cenderung adaptif.
"Pemerintah pun melaunching industri 4.0 untuk menunjang produktivitas dan sumber daya manusia harus siap," jelasnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, Gati mengatakan, fokus terhadap penelitian dan pengembangan industri fashion muslim akan mampu meningkatkan ekspor.
Saat ini, Indonesia masuk dalam tiga besar negara eksportir fashion anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dengan nilai USD12,23 miliar. Bangladesh masih berada di posisi pertama dengan nilai USD33,73 miliar dan Turki dengan USD12,76 miliar.
Tapi, untuk eksportir utama ke negara-negara anggota OKI, Indonesia masih berada di urutan ke-10 dengan nilai USD366 juta dolar. Negara yang berada di peringkat tiga besar adalah China, USD9 juta, Turki UDD2,2 juta dan India USD2,2 juta.
"Kita juga masih kalah dari Vietnam dan Kamboja," jelasnya.
Menurut Gati, salah satu solusi tepat mengantisipasi permasalahan kelambatan pengembangan industri fashion muslim di Indonesia adalah membentuk sebuah ekosistem dengan mengoptimalkan supply chain. Mulai dari bahan baku, sumber daya manusia, produksi, branding dan pemasaran serta inovasi dan diferensiasi dari produk menjadi bagian dari ekosistem ini.
Untuk itu, pemerintah melalui Kemenperin berinisiasi membantu roadmap atau peta jalan pengembangan industri fashion muslim yang rencana dirilis tahun ini. Kemenperin turut mengundang kementerian/lembaga bersama para pemangku kepentingan lain seperti asosiasi desainer untuk terlibat dalam membuat struktur peta jalan melalui FGD.
Gati berharap, melalui FGD, akan tersusun rencana aksi dan program konkret akan komitmen semua pihak dalam mengembangkan indusri fashion muslim yang terintegrasi.
"Sehingga, pada 2020, Indonesia bisa menjadi kiblat fashion muslim dunia seperti yang diharapkan pelaku industri dan pemerintah," tegasnya.
Hal ini yang menyebabkan Indonesia berada di luar 10 besar negara yang melakukan pengembangan fashion muslim dengan baik menurut State of The Global Islamic Economic 2017-2018.
Dari beberapa negara, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara dengan pengembangan fashion muslim termaju yang diikuti Turki dan Italia. Singapura dan Prancis turut masuk dalam posisi keempat dan kelima.
"Mereka bukan negara dominan muslim tapi bisa maju. Penyebabnya, kerja mereka bagus dengan produktivitas yang tinggi," tutur Gati ketika ditemui di Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Roadmap Pengemangan IKM Fashion Muslim di Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Gati menambahkan, kondisi tersebut disayangkan mengingat konsumsi fashion muslim di Indonesia yang tinggi, yakni mencapai USD13,5 miliar. Total tersebut merupakan 5% dari konsumsi fashion muslim dunia yang menyentuh angka USD254 miliar. Pencapaian tersebut membuat Indonesia menjadi lima besar konsumen fashion muslim dunia setelah Turki, UEA, Nigeria dan Arab Saudi.
Gati berharap adanya keterlibatan institusi lain terkait penelitian dan pengembangan ini. Apalagi, teknologi saat ini sudah berkembang dan pelaku cenderung adaptif.
"Pemerintah pun melaunching industri 4.0 untuk menunjang produktivitas dan sumber daya manusia harus siap," jelasnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, Gati mengatakan, fokus terhadap penelitian dan pengembangan industri fashion muslim akan mampu meningkatkan ekspor.
Saat ini, Indonesia masuk dalam tiga besar negara eksportir fashion anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dengan nilai USD12,23 miliar. Bangladesh masih berada di posisi pertama dengan nilai USD33,73 miliar dan Turki dengan USD12,76 miliar.
Tapi, untuk eksportir utama ke negara-negara anggota OKI, Indonesia masih berada di urutan ke-10 dengan nilai USD366 juta dolar. Negara yang berada di peringkat tiga besar adalah China, USD9 juta, Turki UDD2,2 juta dan India USD2,2 juta.
"Kita juga masih kalah dari Vietnam dan Kamboja," jelasnya.
Menurut Gati, salah satu solusi tepat mengantisipasi permasalahan kelambatan pengembangan industri fashion muslim di Indonesia adalah membentuk sebuah ekosistem dengan mengoptimalkan supply chain. Mulai dari bahan baku, sumber daya manusia, produksi, branding dan pemasaran serta inovasi dan diferensiasi dari produk menjadi bagian dari ekosistem ini.
Untuk itu, pemerintah melalui Kemenperin berinisiasi membantu roadmap atau peta jalan pengembangan industri fashion muslim yang rencana dirilis tahun ini. Kemenperin turut mengundang kementerian/lembaga bersama para pemangku kepentingan lain seperti asosiasi desainer untuk terlibat dalam membuat struktur peta jalan melalui FGD.
Gati berharap, melalui FGD, akan tersusun rencana aksi dan program konkret akan komitmen semua pihak dalam mengembangkan indusri fashion muslim yang terintegrasi.
"Sehingga, pada 2020, Indonesia bisa menjadi kiblat fashion muslim dunia seperti yang diharapkan pelaku industri dan pemerintah," tegasnya.
(ven)