Daya Saing Perusahaan Pengendalian Hama Perlu Digenjot
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (ASPPHAMI) mendorong anggotanya untuk dapat meningkatkan profesionalisme dan daya saing menyusul digalakkannya tren industri 4.0 di semua sektor usaha, tanpa terkecuali dalam industri jasa pengendalian hama.
"Kami harus mengikuti perkembangan yang ada dalam siklus bisnis, bukan hanya dilihat dari sisi Industri secara konvensional dimana kami menyediakan jasa, tetapi juga harus diperhatikan kualitas SDM di tengah-tengah tren automisasi," ungkap Ketua Umum ASPPHAMI, Boyke Arie Pahlevi, Rabu (24/10/2018).
Saat ini, kata dia, penerapan teknologi baru begitu gencar dan berlangsung cepat. Pihaknya berharap SDM industri pengendalian hama dapat melakukan penyesuaian, dengan cepat melakukan adaptasi dan memiliki kemampuan untuk penerapan teknologi baru.
Boyke mengatakan, di era digital, industri pengendalian hama diharapkan dapat mengadopsi teknologi yang berkembang. "Sistem operasional bisnis akan berubah, dari yang tadinya konvensional menjadi modern. Dari yang tadinya dengan aktivitas promosi atau marketing biasa menjadi daring dan digital, hingga pada pelayanan konsumennya. Kami mulai menjajaki keterlibatan ICT untuk sektor industri ini," ungkap Boyke.
Tidak hanya itu, tambah dia, SDM pengendalian hama harus memahami benar material kimia dan pengoperasian alat-alat tertentu dalam proses pemberantasan hama di lapangan.
"Kualitas SDM harus lebih ditingkatkan. Perusahaan jasa pengendalian hama juga harus meningkatkan daya saing dan lebih profesional lagi".
Saat ini, lanjut dia, tidak hanya perusahaan lokal yang menggarap industri jasa pengendalian hama, tetapi juga mulai banyak perusahaan asing yang membuka kantor operasional di Indonesia karena besarnya pasar dan peluang bisnis yang ada. Namun, disamping itu perusahaan perlu juga memahami benar mengenai regulasi-regulasi yang berlaku dalam operasional pengendalian hama.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengatakan praktisi dan perusahaan yang bergerak di bidang pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit diharapkan dapat memahami Permenkes No. 50 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.
Dalam regulasi itu disebutkan, praktik pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dilakukan oleh tenaga Entomolog Kesehatan atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kompetensi atau terlatih di bidang pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit.
Anung mengatakan, pengendalian vektor bertujuan menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga transmisi penyakit dapat dihindari. Upaya pengendalian vektor secara terpadu (integrated vector management/IVM), dengan memadukan dua metode atau lebih, akan dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya satu metode saja.
Selain itu, lanjut dia, pengendalian vektor merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengamatan/penyelidikan bioekologi, penentuan status kevektoran, uji resistensi vektor, uji efikasi, serta upaya pengendalian vektor yang mengutaman metode pengendalian secara terpadu.
"Permenkes itu juga mengatur bahan dan peralatan pengendalian vektor, yang mana bahan (insektisida) pengendalian vektor harus mendapat izin dari Kementerian Pertanian. Sedangkan peralatan pengendalian vektor yang harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau apabila tidak ada peralatan yang ber-SNI maka harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan," pungkas Anung.
"Kami harus mengikuti perkembangan yang ada dalam siklus bisnis, bukan hanya dilihat dari sisi Industri secara konvensional dimana kami menyediakan jasa, tetapi juga harus diperhatikan kualitas SDM di tengah-tengah tren automisasi," ungkap Ketua Umum ASPPHAMI, Boyke Arie Pahlevi, Rabu (24/10/2018).
Saat ini, kata dia, penerapan teknologi baru begitu gencar dan berlangsung cepat. Pihaknya berharap SDM industri pengendalian hama dapat melakukan penyesuaian, dengan cepat melakukan adaptasi dan memiliki kemampuan untuk penerapan teknologi baru.
Boyke mengatakan, di era digital, industri pengendalian hama diharapkan dapat mengadopsi teknologi yang berkembang. "Sistem operasional bisnis akan berubah, dari yang tadinya konvensional menjadi modern. Dari yang tadinya dengan aktivitas promosi atau marketing biasa menjadi daring dan digital, hingga pada pelayanan konsumennya. Kami mulai menjajaki keterlibatan ICT untuk sektor industri ini," ungkap Boyke.
Tidak hanya itu, tambah dia, SDM pengendalian hama harus memahami benar material kimia dan pengoperasian alat-alat tertentu dalam proses pemberantasan hama di lapangan.
"Kualitas SDM harus lebih ditingkatkan. Perusahaan jasa pengendalian hama juga harus meningkatkan daya saing dan lebih profesional lagi".
Saat ini, lanjut dia, tidak hanya perusahaan lokal yang menggarap industri jasa pengendalian hama, tetapi juga mulai banyak perusahaan asing yang membuka kantor operasional di Indonesia karena besarnya pasar dan peluang bisnis yang ada. Namun, disamping itu perusahaan perlu juga memahami benar mengenai regulasi-regulasi yang berlaku dalam operasional pengendalian hama.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengatakan praktisi dan perusahaan yang bergerak di bidang pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit diharapkan dapat memahami Permenkes No. 50 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.
Dalam regulasi itu disebutkan, praktik pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dilakukan oleh tenaga Entomolog Kesehatan atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kompetensi atau terlatih di bidang pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit.
Anung mengatakan, pengendalian vektor bertujuan menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga transmisi penyakit dapat dihindari. Upaya pengendalian vektor secara terpadu (integrated vector management/IVM), dengan memadukan dua metode atau lebih, akan dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya satu metode saja.
Selain itu, lanjut dia, pengendalian vektor merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengamatan/penyelidikan bioekologi, penentuan status kevektoran, uji resistensi vektor, uji efikasi, serta upaya pengendalian vektor yang mengutaman metode pengendalian secara terpadu.
"Permenkes itu juga mengatur bahan dan peralatan pengendalian vektor, yang mana bahan (insektisida) pengendalian vektor harus mendapat izin dari Kementerian Pertanian. Sedangkan peralatan pengendalian vektor yang harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau apabila tidak ada peralatan yang ber-SNI maka harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan," pungkas Anung.
(ven)